Arsip

Archive for the ‘Subjek PPh’ Category

Subjek Pajak BUT

Pasal 2 ayat (5) UU PPh 1984 :

Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU PPh 1984 :
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.

Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Catatan :
Bentuk Usaha Tetap adalah istilah dalam bahasa Indonesia untuk permanent establishment. Bentuk usaha tetap biasa disingkat BUT. Bagi saya, BUT memiliki dua arti yang mirip-mirip tapi sedikit beda :
[1.] hak pemajakan di negara sumber [asas sumber] untuk laba dari usaha atau business profits.
[2.] “kendaraan” subjek pajak luar negeri untuk mendapatkan penghasilan dari Indonesia.

Pengertian pertama digunakan dalam tax treaty. Sebelumnya kita mesti tahu dulu dua istilah, yaitu negara domisili dan negara sumber. Negara domisili atau state of residence adalah negara dimana perusahaan atau person terdaftar sebagai penduduk [residence]. Sedangkan negara sumber adalah negara lain dimana perusahaan mendapat penghasilan.

Contoh : PT ABC didirikan di Bandung maka Indonesia adalah negara domisili bagi PT ABC. Seandainya PT ABC melebarkan sayap usaha ke Malaysia untuk memasarkan produknya maka Malaysia merupakan negara sumber. Contah lain : XYZ Sdn Bhd didirikan di Penang, Malaysia, tapi memiliki pabrik di Batam, maka bagi XYZ Sdn Bhd Malaysia merupakan negara domisili dan Indonesia adalah negara sumber.

Biasanya hak pemajakan dari penghasilan usaha (business profit) sepenuhnya diserahkan kepada negara domisili. Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah jika penghasilan usaha tersebut didapat dari BUT atau dilakukan oleh BUT. Ketentuan tentang hal ini dalam tax treaty biasanya diatur dalam Pasal 7 ayat (1). Negara sumber berhak mengenakan pajak jika syarat-syarat BUT dalam tax treaty dipenuhi. Pengenakan pajak tentu saja hanya sebatas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Bagaimana syarat-syarat BUT menurut tax treaty? Silakan baca posting Permanent Establishment.

Sedangkan pengertian kedua berkaitan dengan UU PPh, yaitu ketentuan BUT secara sepihak sebagai negara berdaulat. Seperti kita ketahui bahwa tax treaty kedudukannya lebih tinggi dari pada UU PPh sehingga aturan di tax treaty “mengalahkan” aturan di UU PPh. Dengan demikian, aturan UU PPh yang berkaitan dengan BUT harus lebih luas.

BUT sebagai “kendaraan” subjek pajak luar negeri di UU PPh ditetapkan sebagai subjek pajak tersendiri sedangkan di tax treaty tidak. BUT menurut UU PPh itu unik karena dia sebenarnya subjek pajak luar negeri tetapi diperlakukan seperti subjek pajak dalam negeri sehingga harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP. Dan NPWP ini berlaku selama BUT berada di Indonesia.

Kapan BUT berada di Indonesia? Hal ini diatur di Pasal 2 ayat (5) UU PPh 1984 seperti disebutkan diatas. Hal yang baru di tahun 2009 adalah perluasan dan penegasan untuk:
[1.] gudang;
[2.] ruang untuk promosi dan penjualan;
[3.] proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
[4.] pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
[5.] orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
[6.] agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
[7.] komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet

Pada waktu sosialisasi, salah satu ketua tim perumus mengatakan bahwa perluasan BUT untuk gudang karena prakteknya di Pulau Batam sering kali orang Singapur hanya memiliki gudang penyimpanan di Pulau Batam dan menjual langsung barang dagangannya melalui internet. Barang-barang disimpan di gudang dan didistribusikan langsung ke konsumen di Indonesia. Karena itu, gudang ditegaskan sebagai BUT.

Untuk memudahkan mengingat, BUT dikelompokkan kedalam empat tipe :
[1.] tipe aset :
tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan, komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

[2.] tipe aktivitas :
pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

[3.] tipe agen :orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.

[4.] tipe asuransi :
agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

Cag!

Kategori:BUT, Subjek PPh

Permanent Establishment

5 Februari 2009 1 komentar

Permanent establishment atau dalam bahasa Indonesia Bentuk Usaha Tetap [BUT] adalah istilah penting dalam perpajakan Internasional karena berkaitan dengan
[a.] taxing right atau hak pemajakan.
[b.] source rules yaitu sekumpulan ketentuan hukum yang menentukan apa syarat-syaratnya bagi suatu jenis penghasilanagar negara tempat diterimanya penghasilan itu menjadi negara sumber yang berhak memungut pajak atas penghasilan.
[c.] threshold atau ambang batas yaitu kriteria yang memungkinkan suatu negara sumber untuk memajaki penghasilan usaha antar negara.

Hak pemajakan dari penghasilan usaha (business profit) sepenuhnya diserahkan kepada negara domisili atau negara dimana Wajib Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah jika penghasilan usaha tersebut didapat atau dilakukan melalui Bentuk Usaha Tetap [BUT].

Sebelum lebih jauh, tulisan ini berkaitan dengan BUT di tax treaty. Karena itu dibawah disebut OECD model dan UN model. OECD model dibuat oleh negara-negara maju, sedangkan UN model dibuat oleh para ahli perpajakan PBB tetapi dasarnya tetap OECD model. Boleh dibilang UN model adalah modifikasi OECD model. Keduanya adalah contoh yang menjadi acuan negara-negara dalam negosiasi tax treaty. Karena masih “model” maka dalam tax treaty yang disepakati, mungkin saja tidak sama dengan modelnya.

Jika kegiatan usaha dilakukan oleh BUT maka hak pemajakan sepenuhnya milik negara sumber (exclusively taxing rights). Karena itu, pengertian Bentuk Usaha Tetap tersebut sangat penting agar diketahui dengan jelas negara mana yang berhak mengenakan pajak. OECD model dan UN model memuat pengertian Bentuk Usaha Tetap dalam Pasal 5 ayat (1), yaitu:

For the purposes of this Convention, the term “permanent establishment” means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on

Menurut Pak Rachmanto Surahmat [dalam buku yang berjudul Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda – sebuah pengantar], fixed place sebagaimana diatur di Pasal 5 ayat (1) ini memiliki pengertian bahwa suatu Bentuk Usaha Tetap mengandung tiga syarat :
a. adanya tempat usaha berupa prasarana, seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) yaitu: tempat manajemen perusahaan, cabang, kantor, pabrik, bengkel dan tambang, sumur minyak atau gas, galian atau tempat lain untuk mengambil sumber daya alam;
b. tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap; dan
c. kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.

Selain itu, karakteristik lain dari dari Bentuk Usaha Tetap adalah bersifat produktif, artinya ia turut memberikan andil dalam memperoleh laba usaha bagi kantor pusatnya.

Pada dasarnya, BUT dikelompokkan ke dalam empat tipe :
[1.] Tipe aset
BUT tipe aset ini disebutkan di Pasal 5 ayat (1). Tipe Aset memiliki tiga ciri atau karakteristik atau pengujian [test], yaitu :
[1.a.] place of business, yaitu tempat baik satu ruangan kecil atau kantor yang lebih luas. Tempat tersebut bisa milik sendiri atau hanya sewa yang penting perusahaan luar negeri memiliki hak untuk menggunakan tempat tersebut. Karena itu, pada era digital ini isu server komputer menjadi topik hangat. Salah satu tulisan di blog yang berkaitan dengan e-commerce ditulis oleh Pak Rusdi Yanis.

[1.b.] fixed, yaitu derajat kepermanenan baik secara geografis (dimensi ruang) maupun berkelanjutan (dimensi waktu). Ini menurut Pak Gunadi [dalam buku yang berjudul Pajak Internasional]. Perlu ada hubungan antara komersial dan geografis [commercial and geographic coherence] secara nature of the business. Tetapi menurut Pak Rachmanto Surahmat, “tetap” berkaitan antara tempat tersebut dan titik geografis. Keberadaan suatu peralatan di satu lokasi sudah cukup untuk dianggap berada di satu tempat tetap.

[1.c.] doing business through that fixed place.

[2.] Tipe aktivitas
BUT tipe aktivitas ada dua:
[2.a.] proyek bangunan, konstruksi, perakitan, instalasi, atau aktivitas supervisi untuk proyek tersebut selama 12 bulan. Ini yang ada di OECD model. Tetapi di UN model time test menjadi 6 bulan saja.

[2.b.] kegiatan jasa termasuk konsultasi yang dilakukan perusahaan di negara lain selama 6 bulan dalam 12 bulan. Di OECD model jasa ini tidak diatur secara khusus tapi di UN model diatur yaitu di Pasal 5 ayat (3) huruf b. Negara-negara maju berpendirian bahwa jasa teknik dikenakan di negara domisili kecuali melalui agen tidak bebas. Tetapi negara-negara berkembang yang tergabung dalam UN tax experts group berpendapat bahwa hal ini merugikan mereka sehingga kegiatan pemberian jasa ditetapkan sebagai BUT jika melewati time test. Berbeda dengan [2.a.] diatas, time test jasa tidak perlu terus-menerus. Bisa putus-putus yang penting dalam 12 bulan ada 6 bulan. Pemberian jasa ini bisa dilakukan oleh pegawai perusahaan atau orang lain yang dipekerjakan oleh perusahaan itu untuk tujuan tersebut.

[3.] Tipe agen
Tidak semua agen merupakan BUT. Agen dibagi dua yaitu agen bebas dan agen tidak bebas. Nah, agen yang manjadi BUT adalah agen tidak bebas. Hal ini diatur di Pasal 5 ayat (5) OECD model. Bahwa orang atau badan dapat ditetapkan sebagai BUT jika melakukan aktivitas melalui agen tidak bebas. Agen tidak bebas dapat berupa orang pribadi atau badan asal :
[3.a.] Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.

[3.b.] Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut. Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara.

[3.c.] Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.

[4.] Tipe asuransi
Ada perbedaan antara OECD model dengan UN model berkaitan dengan BUT asuransi. OECD model menyarankan bahwa perusahaan asuransi dianggap memiliki Bentuk Usaha Tetap jika perusahaan asuransi tersebut memenuhi ketentuan ayat (1) atau ayat (5) yaitu melalui agen tidak bebas. Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan Bentuk Usaha Tetap bagi usaha asuransi.

UN model mengatur perusahaan asuransi khusus di Pasal 5 ayat (6). Ayat ini mengatur bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai BUT apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang bukan agen independent sebagaimana dimaksud ayat (7). Menurut negara-negara berkembang, agen asuransi biasanya tidak memiliki kuasa untuk menutup kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf a OECD model. Jadi, menurut UN model bagi agen perusahaan asuransi syarat Bentuk Usaha Tetap adalah agen di negara sumber yang bersangkutan mengumpulkan atau menerima premi dan menanggung resiko yang terletak di negara sumber tersebut.

Biasanya ada pengecualian di tax treaty yang biasanya disebutkan di Pasal 5 ayat (4). Sebagai contoh, berikut ini Pasal 5 ayat (4) tax treaty Indonesia – China :

Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dari Pasal ini, istilah “bentuk usaha tetap” dianggap tidak mencakup:
a). penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;

b). pengurusan terhadap persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan;

c). pengurusan terhadap persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain;

d) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk melakukan pembelian barang-barang atau barang dagangan, atau untuk mengumpulkan informasi bagi keperluan perusahaan;

e) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata untuk tujuan periklanan atau penyediaan informasi;

f) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk melakukan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat sebagai kegiatan persiapan atau kegiatan penunjang, bagi keperluan perusahaan

g) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk melakukan gabungan kegiatan-kegiatan seperti disebutkan pada sub-ayat a) sampai dengan sub ayat e), sepanjang kegiatan-kegiatan tempat usaha tetap yang merupakan hasil penggabungan tadi bersifat sebagai kegiatan persiapan atau kegiatan penunjang.

silakan dilengkapi dengan bacaan ini 🙂
Cag!

Bukan Subjek Pajak

14 Januari 2009 3 komentar

Sesuai dengan kelaziman “diplomasi” antar negara bahwa ada organisasi Internasional dan pejabat organisasi tersebut yang ditetapkan sebagai bukan subjek Pajak. Bahkan khusus kantor perwakilan negara seperti kantor kedutaan besar dianggap sebagai negara lain. Misalkan Kantor Kedutaan Besar Malaysia di Jalan Rasuna Said Jakarta dianggap sebagai “wilayah hukum Malaysia” sehingga berlaku peraturan perundang-undangan Malaysia, bukan peraturan Indonesia. Karena itu sangat wajar jika para pejabat Kedutaan Besar tersebut bukan subjek pajak Indonesia tapi subjek pajak Malaysia.

Berkaitan dengan organisasi Internasional, maka tidak semua organisasi tersebut otomatis dikecualikan sebagai subjek pajak PPh. Organisasi internasional mana yang dikecualikan, ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Penetapan Menteri Keuangan terbaru dikeluarkan pada bulan Desember 2008 kemarin dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 215/PMK. 03/2008.

Berikut ini adalah dasar hukum pengecualian subjek pajak dan lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 215/PMK. 03/2008 :

Pasal 3 ayat (1) UU PPh 1984

Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;

b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;

d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU PPh 1984

Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.

Pasal 3 ayat (2) UU PPh 1984

Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 215/PMK. 03/2008 tentang Penetapan Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat-pejabat Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan :

I. Badan-badan Internasional Dari Perserikatan Bangsa-Bangsa
1. ADB (Asian Development Bank)
2. IBRD (International Bank for Reconstruction and Development)
3. IFC (International Finance Corporation)
4. IMF (International Monetary Fund)
5. UNDP (United Nations Development Programme), meliputi:
a. IAEA (International Atomic Energy Agency)
b. ICAO (International Civil Aviation Organization)
c. ITU (International Telecommunication Union)
d. UNIDO (United Nations Industrial Development Organizations)
e. UPU (Universal Postal Union)
f. WMO (World Meteorological Organization)
g. UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development)
h. UNEP (United Nations Environment Programme)
i. UNCHS (United Nations Centre for Human Sett lement)
j. ESCAP (Economic and Social Commission for Asia and The Pacific)
k. UNFPA (United Nations Funds for Population Activities)
l. WFP (World Food Programme)
m. IMO (International Maritime Organization)
n. WIPO (World Intellectual Property Organization)
o. IFAD (International Fund for Agricultural Development)
p. WTO (World Trade Organization)
q. WTO (World Tourism Organization)
6. FAO (Food and Agricultural Organization)
7. ILO (International Labour Organization)
8. UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees)
9. UNIC (United Nations Information Centre)
10. UNICEF (United Nations Children’s Fund)
11. UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization)
12. WHO (World Health Organization)
13. World Bank

II. Kerjasama Teknik:
1. Kerjasama Teknik Australia – Republik Indonesia (Australia-Indonesia Partnership)
2. Kerjasama Teknik Canada – Republik Indonesia
3. Kerjasama Teknik India – Republik Indonesia
4. Kerjasama Teknik Inggris – Republik Indonesia
5. Kerjasama Teknik Jepang – Republik Indonesia
6. Kerjasama Teknik New Zealand – Repubiik Indonesia
7. Kerjasama Teknik Negeri Belanda – Republik Indonesia
8. Kerjasama Teknik Rusia – Republik Indonesia
9. Kerjasama Teknik Jerman – Republik Indonesia
10. Kerjasama Teknik Perancis – Kepublik Indonesia
11. Kerjasama Teknik Negeri Polandia – Republik Indonesia
12. Kerjasama Teknik Amerika Serikat – Republik Indonesia (USAID: United States Agency for International Development)
13. Kerjasama Teknik Swiss – Republik Indonesia
14. Kerjasama Teknik Italia – Republik Indonesia
15. Kerjasama Teknik Belgia – Republik Indonesia
16. Kerjasama Teknik Denmark – Republik Indonesia
17. Kerjasama Teknik Korea – Republik Indonesia
18. Kerjasama Teknik Finlandia – Republik Indonesia
19. Kerjasama Ekonomi dan Teknik Malaysia – Republik Indonesia
20. Kerjasama Ekonomi dan Teknik Singapura – Republik Indonesia
21. Kerjasama Ekonomi, Perdagangan dan Teknik RRC – Republik Indonesia
22. Kerjasama Ekonomi, Ilmu Pengetahuan dan Teknik Vietnam – Republik Indonesia
23. Kerjasama Ekonomi dan Teknik Thailand – Republik Indonesia
24. Kerjasama Ilmu Pengetahuan dan Teknik Meksiko – Republik Indonesia
25. Kerjasama Teknik Kerajaan Arab Saudi – Republik Indonesia
26. Kerjasama Teknik Iran – Republik Indonesia
27. Kerjasama Teknik Pakistan – Republik Indonesia
28. Kerjasama Teknik Philippina – Republik Indonesia

III. Kerjasama Kebudayaan
1. Kerjasama Kebudayaan Belanda – Republik Indonesia
2. Kerjasama Kebudayaan Jepang – Republik Indonesia
3. Kerjasama Kebudayaan Mesir/RPA – Republik Indonesia
4. Kerjasama Kebudayaan Austria – Republik Indonesia

IV. Organisasi-Organisasi Internasional Lainnya:
1. Asean Secretariat
2. SEAMEO (South East Asian Minister of Education Organization)
3. ACE (The ASEAN Centre for Energy)
4. NORAD (The Norwegian Agency for International Development)
5. FPP Int. (Foster Parents Plan Int.)
6. PCI (Project Concern International)
7. IDRC (The International Development Research Centre)
8. Kerjasama Teknik Di bidang Perkoperasian antara DMTCI/CLUSA-Republik Indonesia
9. NLRA (The Netherlands Leprosy Relief Association)
10. The Commission of The European Communities
11. OISCA INT. (The Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement International)
12. World Relief Cooperation
13. APCU (The Asean Heads of Population Coordination Unit)
14. SIL (The Summer Institute of Linguistics, Inc.)
15. IPC (The International Pepper Community)
16. APCC (Asian Pacific Coconut Community)
17. INTELSAT (International Telecommunication Satellite Organization)
18. People Hope of Japan (PHJ) dan Project Hope
19. CIP (The International Potato Centre)
20. ICRC (The International Committee of Red Cross)
21. Terre Des Homines Netherlands
22. Wetlands International
23. HKI (Helen Keller International, inc.)
24. Taipei Economic and Trade Office
25. Vredeseilanden Country Office (VECO) Belgia
26. KAS(Konrad Adenauer Srifrung)
27. Program for Appropriate Technology in Health, USA-PATH
28. Save the Children-US dan Save the Children-UK
29. CIFOR (The Center for International Forestry Research)
30. Islamic Development Bank
31. Kyoto University- Jepang
32. ICRAF (the International Centre for Research in Agroforestry)
33. Swisscontact – Swiss Foundation for Technical Cooperation
34. Winrock International
35. Stichting Tropenbos
36. The Moslem World League (Rabithah)
37. NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization)
38. HSF (Hans Seidel Foundation)
39. DAAD (Deutscher Achademischer Austauschdienst)
40. WCS (The Wildlife Conservation Society)
41. BORDA (The Bremen Overseas Research and Development Association)
42. ASEAN Foundation
43. SOCSEA (Sub Regional Office of CIRDAP in Southeast Asia)
44. IMC (International Medical Corps)
45. KNCV (Koninklijke Nederlands Centrale Vereniging lot Bestrijding der Tuberculosis)
46. Asia Foundation
47. The British Council
48. CARE (Cooperative for American Relief Everywhere Incorporation)
49. CCF (Christian Children’s Fund)
50. CRS (Catholic Relief Service)
51. CWS (Church World Service)
52. The Ford Foundation
53. FES(FriedrichEbertStiftung)
54. FNS (Friedrich Neumann Stiftung)
55. IRRI (International Rice Research Institute)
56. Leprosy Mission
57. OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief)
58. WE (World Education, Incorporated, USA)
59. JICA (Japan International Cooperations Agency)
60. JBIC (Japan Bank for International Cooperation)
61. KOICA (Korea International Cooperation Agency)
62. ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia)

Kategori:Subjek PPh

Pekerja Indonesia di Luar Negeri

13 Januari 2009 54 komentar

Ini adalah kabar yang baik bagi para pekerja Indonesia yang bekerja di Luar Negeri. Telah keluar Peraturan Direktur Jenderal Pajak No PER-2/PJ/2009. Menurut bagian “menimbang” dari Perdirjen ini bahwa peraturan ini dikeluarkan dalam rangka memberikan kepastian hukum atas perlakuan Pajak Penghasilan bagi orang pribadi yang merupakan Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Saya menggarisbawahi kata-kata “memberikan kepastian hukum”.

Inilah jawaban “keresahan” para pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Memang sudah seharusnya ketentuan perpajakan kita konsisten bahwa aturan 183 hari itu berlaku baik bagi setiap orang yang berada di Indonesia maupun orang yang berada di luar Indonesia. Jika berada di Indonesia 183 hari atau lebih maka menjadi subjek Pajak dalam negeri. Sebaliknya, jika berada di luar negeri 183 hari atau lebih maka menjadi subjek Pajak luar negeri.

Inti dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak No PER-2/PJ/2009 merupakan “penegasan” warga Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari merupakan subjek pajak luar negeri. Karena merupakan subjek pajak luar negeri maka atas penghasilan di negara tempat bekerja tersebut tidak perlu dilaporkan di Indonesia dan tidak dikenakan PPh di Indonesia. Supaya lebih jelas, saya kutip Pasal 1 sampai Pasal 4.

Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan Pekerja Indonesia di Luar Negeri adalah orang pribadi Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

Pasal 2
Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan Subjek Pajak Luar Negeri.

Pasal 3
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sehubungan dengan pekerjaannya di luar negeri dan telah dikenai pajak di luar negeri, tidak dikenai Pajak Penghasilan di Indonesia.

Pasal 4
Dalam hal Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia maka atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan yang berlaku.

Saya ingatkan bahwa “status” subjek pajak luar negeri tidak memiliki kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Memang ada dua subjek pajak luar negeri yaitu subjek pajak yang memperoleh penghasilan dari Indonesia melalui BUT dan subjek pajak luar negeri [SPLN] yang memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui BUT. Biar lebih gampang, kita istilahkan SPLN Non-BUT dan SPLN BUT. Nah, para pekerja ini semestinya SPLN Non-BUT. Mungkin akan berbeda jika para WNI tersebut di luar negeri bukan sebagai pekerja tapi pengusaha!

Subjek Pajak non BUT tidak memiliki kewajiban melaporkan penghasilan yang diperolehnya dari Indonesia karena kewajiban perpajakan atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia telah “dibebankan” kepada subjek pajak Indonesia yang memberikan penghasilan. Berikut kutipan dari memori penjelasan Pasal 2 UU PPh 1984:

Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Di Perdirjan ini ada menyinggung tengan warga negera. Menurut saya, penyebutkan warga negara karena Perdirjen ini mengatur pekerja Indonesia. Seperti disebutkan di Pasal 1-nya bahwa yang dimaksud pekerja Indonesia adalah warga negera Indonesia yang bekerja di Luar Negeri. Tentu jika warga negara Cina bekerja di Singapura maka bukan pekerja Indonesia [sekedar contoh]!

Semoga Perdirjen ini semakin memperjelas!

Kategori:Objek PPh, Subjek PPh

Subjek pajak luar negeri

17 Desember 2008 30 komentar

Pasal 2 ayat (4) UU PPh 1984

Subjek pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan

b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Pasal 2A ayat (3)dan ayat (4) UU PPh 1984 :

(3) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.

(4) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

Penjelasan :

Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.

Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut.

Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat bentuk usaha tetap tersebut berada di Indonesia dan berakhir pada saat bentuk usaha tetap tersebut tidak lagi berada di Indonesia.

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah subjek pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.

Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan tersebut dimulai pada saat orang pribadi atau badan mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu menerima atau memperoleh penghasilan dari sumber-sumber di Indonesia dan berakhir pada saat orang pribadi atau badan tersebut tidak lagi mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia.

Catatan :
Mengapa harus ada “pemisahan” antara subjek pajak dalam negeri dengan subjek pajak luar negeri? Karena ada perbedaan kewajiban! Saya ringkaskan perbedaan kewajiban subjek pajak dalam negeri vs subjek pajak luar negeri dari memori penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PPh 1984 sebagai berikut;
1. Subjek pajak dalam negeri : dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia [biasa disebut world wide income atau comprehensive liability to tax atau full tax liability]; dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum; dan wajib menyampaikan SPT Tahunan.

2. Subjek pajak luar negeri : dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia; dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan atau flat; dan TIDAK wajib menyampaikan SPT Tahunan.

Karena UU PPh 1984 menganut residence prinsiple, maka tempat tinggal dan “kehadiran fisik” menjadi persyaratan. Pada catatan tentang subjek pajak dalam negeri, saya menyebutkan bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia dan memiliki dokumen KTP maka yang bersangkutan merupakan subjek pajak dalam negeri. Tetapi ada kalanya dokumen formalitas tidak merepresentasikan keadaan sebenarnya. Pada contoh yang saya berikan, bisa jadi orang yang memiliki rumah dan KTP di Jakarta tetapi tinggal di Singapura. Karena itu perlu pengujian lebih lanjut.

Saya kutip dua paragrap memori penjelasan Pasal 2 ayat (6) UU PPh 1984 tentang tempat tinggal :

Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok, atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.

Saya ulangi : penentuan tempat tinggal tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Praktek yang terjadi dilapangan sangat mungkin seseorang yang secara formal bertempat tinggal di Indonesia tetapi pada kenyataannya orang tersebut “berada” di luar negeri. Jadi, dimana tempat tinggalnya?

Jawaban saya kembali ke metode 183 hari. Jika seseorang berada di luar negeri 183 hari atau lebih maka orang tersebut bertempat tinggal di luar negeri. Sebaliknya jika seseorang berada di dalam negeri 183 hari atau lebih maka orang tersebut bertempat tinggal di dalam negeri. “Tempat” yang dimaksud bisa rumah milik, rumah sewa, apartemen, atau tempat tinggal lainnya.

Walaupun demikian, sebenarnya sudah ada semacam “konvensi” diantara administrator pajak di dunia bahwa jika terjadi dual residence [orang pribadi yang memiliki status penduduk rangkap untuk tujuan perpajakan] maka penyelesaiannya dilakukan berdasarka a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency) artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka digunakan kriteria kedua dan seterusnya. Kriteria dimaksud adalah

[1]. Tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak dan keluarga tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of permanence;

[2]. Pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan kepentingan ekonomi berada. Untuk mengukur pusat kepentingan seseorang, dapat dipakai ukuran jumlah harta atau jumlah penghasilan, mana yang lebih besar;

[3]. Kebiasaan berdiam (habitual abode). Pengujian ini berdasarkan “di negara mana” seseorang lebih banyak berada. Ini berbeda dengan metode 183 hari karena lebih banyak di sini bisa jadi kurang dari 183 hari. Contoh: 100 hari tentu lebih banyak daripada 95 hari;

[4]. Status kewarganegaraan (nationality) Wajib Pajak;

[5]. Prosedur kesepakatan (mutual agreement procedure atau MAP) yaitu prosedur kesepakatan antara kedua otoritas pajak dari masing-masing negara.

Nah bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Luar Negeri silakan mengukur sendiri, kira-kira penduduk mana. Penduduk maksudnya penduduk untuk kepentingan perpajakan. Walaupun demikian, pengujian diatas adalah pengujian pada umumnya. Pengujian yang lebih pasti tentu harus mengacu ke tax treaty karena tidak semua tax treaty yang ditandatangani oleh Indonesia mengadopsi pengujian diatas. Di tax treaty masalah “penduduk” biasanya di tempatkan di Pasal 4 tentang Fiscal Residence. Nah cari deh di situh apakah kita masuk penduduk negara A atau penduduk negara B.

Kedudukan treaty lebih tinggi daripada undang-undang. Treaty adalah perjanjian antar negara dan yang dimaksud tax treaty biasanya perjanjian bilateral atau perjanjian antara dua negara. Karena tax treaty mengatur hal-hal yang lebih khusus, maka tax treaty “menganulir” [mengalahkan] ketentuang-ketentuan di undang-undang. Ketentuan khusus mengalahkan ketentuan umum.

Untuk dapat menggunakan tax treaty kita harus menggunakan surat keterangan domisili (SKD) atau Certificate of Residency. Seperti KTP di Indonesia, certificate of residency (COR) merupakan bukti “kependudukan” seseorang untuk kepentingan perpajakan. Karena itu, menurut saya, COR lebih kuat sebagai bukti.

Walaupun begitu, kemungkinan untuk penduduk ganda [dual residence] masih mungkin. Misal si A memiliki COR di Singapura tetapi KPP bilang si A wajib NPWP. Jika sudah begini, sebaiknya serahkan ke pejabat yang berwenang (Competent Authority) dan meminta dilakuan pengujian terakhir yaitu (mutual agreement procedure atau MAP)!

Contoh Surat Keterangan Domisili [diteken oleh pejabat yang berwenang] yang dikeluarkan oleh USA [diambil dari SE-68/PJ/2008]
salaam

Kategori:Subjek PPh

Subjek Pajak Dalam Negeri

16 Desember 2008 11 komentar

Ketentuan subjek pajak dalam negeri diatur di Pasal 2 ayat (3) UU PPh 1984. Berikut bunyi lengkapnya :

(3) Subjek pajak dalam negeri adalah :
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan

4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan

c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

Selain Pasal 2 ayat (3) diatas, yang berkaitan dengan subjek pajak dalam negeri diatur juga di Pasal 2A ayat (1), ayat (2), ayat (5), dan ayat (6). Pasal 2A UU PPh 1984 mengatur tentang saat dimulai menjadi subjek pajak.

(1) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai pada saat orang pribadi tersebut lahir, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

(2) Kewajiban pajak subjektif badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.

(5) Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2 dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.

(6) Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.

Penjelasan :

Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.

Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.

Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.

Kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia lahir di Indonesia. Untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, kewajiban pajak subjektifnya dimulai sejak hari pertama ia berada di Indonesia. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada saat ia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Pengertian meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya harus dikaitkan dengan hal-hal yang nyata pada saat orang pribadi tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi subjek pajak dalam negeri.

Dapat terjadi orang pribadi menjadi subjek pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi subjek pajak pada pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.

Catatan :
Perhatikan, baik di batang tubuh maupun di memori penjelasan tidak ada pengaturan kewarganegaraan. Beberapa teman di DJP sekalipun masih memiliki pemahaman bahwa seorang warga negara Indonesia atau WNI akan otomatis menjadi subjek pajak dalam negeri yang memiliki kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh OP. Mohon digaris bawahi kalimat pertama memori penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf a yang berbunyi, “Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia.” Kalimat ini [persis sama] sudah ada di memori penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf a UU No. 10 Tahun 1994. Inilah bukti bahwa UU PPh 1984 menganut residence prinsiple atau asas tempat tinggal atau asas domisili!

Persyaratan subjek pajak sebagai subjek pajak dalam negeri terdiri [tidak kumulatif] :
[1.] orang pribadi yang bertempat tinggal atau berniat bertempat tinggal di Indonesia
Seseorang yang tertempat tinggal di Indonesia tidak perlu diragukan lagi bahwa dia memang subjek pajak dalam negeri. Karena di Indonesia berlaku dokumen Kartu Tanda Penduduk [KTP] maka dokumen KTP membuktikan bahwa seseorang tersebut merupakan subjek pajak dalam negeri. Dokumen ini akan menjadi masalah jika kemudian yang bersangkutan tidak “menetap” di Indonesia. Maksud menetap disini adalah keberadaan yang bersangkutan di Indonesia. Kadang di Indonesia, kadang di LN. Bisa jadi orangnya tinggal di Singapur tetapi masih memiliki KTP di Jakarta. Artinya, dokumen KTP hanya formalitas tetapi pada kenyataannya [substansinya] berbeda. Untuk kasus seperti ini, perlu ada test [pengujian] lain selain KTP.

Perhatikan kalimat memori penjelasan berikut, “Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.” Niat adalah sesuatu yang abstrak. Tidak mungkin petugas pajak menanyakan setiap orang yang datang di Bandara Internasional bertanya kepada orang asing, “Apakah Saudara berniat tinggal di Indonesia?” Kemudian si petugas pajak membuat berita acara bahwa orang asing tersebut berniat tinggal di Indonesia dan dijadikan sebagai subjek pajak dalam negeri.

Atau sebaliknya dengan bertanya kepada setiap WNI yang pergi ke Luar Negeri atau berada di Luar Negeri, “Apakah Saudara berniat suatu saat akan tinggal di Indonesia kembali?” Jelas ini pekerjaan tidak perlu. Hal yang sama berlaku bagi orang yang niat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya [saat berakhirnya subjek pajak dalam negeri]. Perhatikan kalimat di memori penjelasan berikut, “Apabila pada saat ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi subjek pajak dalam negeri.” Bukti-bukti yang nyata mengenai niat harus diberlakukan baik niat bertempat tinggal atau niat meninggalkan Indonesia. Karena itu, kita mesti hati-hati apa yang dimaksud dengan niat di Pasal 2A UU PPh 1984.

Contoh seseorang berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia menurut saya : Mr. Y penduduk Tokyo dan warga negara Jepang mendapat “kontrak” bekerja di Toyota Indonesia selama dua tahun. Berdasarkan kontrak tersebut, maka Mr. Y akan menjadi subjek pajak dalam negeri sejak hari pertama bertugas di Indonesia. Dalam hal pembelian tempat tinggal di Indonesia oleh orang asing menurut saya tidak bisa dijadikan syarat sebagai subjek pajak dalam negeri. Memang pembelian tempat tinggal bisa diartikan bahkan pembeli akan tinggal di Indonesia. Tetapi sangat mungkin orang Singapura yang membeli rumah atau apartemen di Indonesia hanya sekedar untuk tempat singgah atau untuk disewakan [investasi saja].

[2.] Orang pribadi yang lahir di Indonesia
Ada juga yang berpendapat bahwa setiap orang yang lahir di Indonesia maka otomatis menjadi subjek pajak dalam negeri. Bagi saya memang subjek pajak saya sudah ada sejak saya lahir. Mengapa? Ya logis saja karena sejak lahir sampai sekarang saya berada di Indonesia. Tidak kemana-mana! Menurut saya, aturan tentang “kelahiran” ini harus diterapkan kepada orang-orang yang seperti saya. Orang yang tidak kemana-mana.

[3.] orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
Pengujian 183 hari adalah pengujian yang paling adil. Dan penerapannya harus “reciprocal” atau timbal balik. Maksud saya, jika seseorang berada di Indonesia selama 183 hari atau lebih maka dia manjadi subjek pajak dalam negeri. Tetapi jika seseorang berada di Luar Negeri selama 183 hari atau lebih maka dia menjadi subjek pajak luar negeri.

The “days of physical presence” method atau pengujian metode 183 hari terutama diterapkan bagi karyawan atau pegawai di Luar Negeri. Kenapa saya hubungkan dengan status karyawan atau pegawai? Karena banyak sekali email yang masuk dari tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri yang mempermasalahkan status subjek pajak.

Sebagai patokan, saya kutip acuan pengaturan Pasal 15 tax treaty dari OECD yang sering disebut OECD model. Berikut kutipan Pasal 15 ayat (2) OECD model:

Notwithstanding the provisions of paragraph 1, remuneration derived by a resident of a Contracting State in respect of an employment exercised in the other Contracting State shall be taxable only in the first-mentioned State if:
a. the recipient is present in the other State for a period or periods not exceeding in the aggregate 183 days in any twelve month period commencing or ending in the fiscal year concerned, and
b. the remuneration is paid by, or on behalf of, an employer who is not a resident of the other State, and
c. the remuneration is not borne by permanent establishment which the employer has in the other State.

Contohnya begini : Indonesia memiliki hak pemajakan penuh atas pekerja ekspatriat [orang asing yang bekerja di Indoneisa] jika si pekerja tersebut berada di Indonesia 183 hari atau lebih. Sebaliknya Indonesia tidak memiliki hak pemajakan penuh jika [a] berada di Indonesia kurang dari 183 hari, dan, [b] majikan atau pembayar gaji bukan subjek pajak dalan negeri, dan, [c] gaji bukan biaya BUT di Indonesia. Jika ketiga syarat tersebut dipenuhi maka atas objek gaji tersebut hanya akan dikenakan pajak [shall be taxable only] di Luar Negeri.

Persyaratan ini tentu [seharusnya] berlaku sebaliknya atau timbal balik. Pekerja Indonesia di Luar Negeri hanya akan dikenakan pajak penghasilan di Indonesia atas penghasilan gajinya jika tiga syarat tersebut terpenuhi. Atau, atas gaji yang diterima oleh tenaga kerja Indonesia [TKI] di Luar Negeri hanya akan dikenakan pajak [shall be taxable only] di Indonesia jika [a] berada di Indonesia lebih dari 183 hari, dan, [b] majikan atau pembayar gaji merupakan subjek pajak dalan negeri / Indonesia, dan, [c] gaji bukan biaya BUT di Luar Negeri.

[4.] badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
Untuk subjek pajak berbentuk badan tidak banyak memperdebatkan. Kriterianya pun cuma dua, pertama, semua badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Contoh : perseroan terbatas, firma, CV, ormas, parpol, dan badan hukum lainnya. Kedua, semua badan yang berkedudukan di Indonesia. Berkedudukan bisa diartikan tempat manajemen berada atau place of effective management di Indonesia.

Pemerintah walaupun bisa disebut badan tetapi dikecualikan sebagai subjek. Ini logika saja karena pemerintah adalah pihak yang memungut pajak. Jika pemerintah dijadikan subjek pajak maka pemerintah akan memungut pajak atas dirinya sendiri. Pajak yang merupakan penghasilan pemerintah akan dikenakan pajak lagi. Ini tidak masuk akal. Yang benar adalah pemerintah sebagai “orang” memungut pajak atas penghasilan “orang lain”. Bahkan sebagian ahli moneter menyebutkan bahwa pajak adalah aliran dana dari sektor privat ke sektor publik.

Waktu kuliah, dulu, ada diskusi : apakah Bank Indonesia subjek pajak atau bukan? Jawabannya bukan subjek pajak karena Bank Indonesia bagian dari pemerintah. Dan UU PPh pun nampaknya “selaras” kecuali UU No. 36 tahun 2008 karena di Pasal 4 ayat (1) huruf s menyebutkan bahwa surplus Bank Indonesia sebagai objek PPh. Seorang anggota tim perumus RUU PPh mengatakan pada saat sosialisasi UU PPh baru di Bandung bahwa aturan surplus Bank Indonesia hanya merespon UU Bank Indonesia. Pasal II angka 4 UU No. 3 Tahun 2004 yang menyatakan,”Sepanjang belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa surplus Bank Indonesia dikenakan pajak penghasilan, maka berdasarkan Undang-undang ini surplus Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan.”

salaam

Supaya lebih lengkap, baca juga Subjek Pajak Luar Negeri

Kategori:Subjek PPh

Siapa Subjek Pajak?

Diantara postingan yang paling banyak mendapat komentar dan pertanyaan adalah postingan tentang subjek pajak. Ini diluar perkiraan saya sendiri. Pertanyaan melalui email kebanyakan dari para pekerja yang berdomisili di Luar Negeri lebih dari 183 hari.

Memang, seperti disebutkan di Pasal 1, bahwa Pajak Penghasilan itu dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Kemudian pantas jika timbul pertanyaan : siapa subjek pajak itu?

Ketentuan tentang subjek pajak diatur di Pasal 2 UU PPh 1984. Sedangkan Pasal 3 UU PPh 1984 mengatur bukan subjek pajak. Karena agak panjang, kali ini catatan tentang subjek pajak dibagi ke dalam lima bagian yaitu : subjek pajak, subjek pajak dalam negeri, subjek pajak luar negeri, subjek BUT, dan bukan subjek pajak.

Pasal 2 ayat (1), ayat (1a) dan ayat (2) berbunyi :

(1) Yang menjadi subjek pajak adalah:
a.1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;

b. badan; dan

c. bentuk usaha tetap.

(1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.

(2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

Penjelasan :
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.

Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.

Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:

a. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;

b. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;

c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

Catatan :
Prakteknya, subjek pajak yang banyak dipakai ada dua saja yaitu, orang pribadi dan badan atau WPOP dan WP Badan. Sementara warisan yang belum terbagi ditetapkan sebagai subjek pajak hanya untuk keperluan penagihan pajak. Bukankah warisan benda mati? Sementara subjek pajak adalah subjek hukum yang oleh undang-undang perpajakan diberikan kewajiban. Warisan tentu saja tidak bisa melaksanakan kewajiban perpajakan seperti halnya WPOP. Sedangkan bentuk usaha tetap atau BUT seperti diatur di Pasal 1a diperlakukan seperti WP Badan.

Perhatikan kalimat di bagian penjelasan, “Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.” Jika diumpamakan warisan itu seekor ayam, dan telur ayam itu penghasilan maka kantor pajak akan memungut pajak telur ayam. Karena pemilik ayam sudah meninggal, maka siapa yang menjadi subjek pajak? Nah supaya kantor pajak bisa memungut pajak telur ayam itu, ditetapkanlah ayam itu sebagai subjek pajak. Si ayam akan tetap sebagai subjek pajak sampai si ayam jelas “diwariskan”. Kemudian jika sudah diwariskan, maka subjek pajak akan berpindah ke pemilik ayam.

Banyak yang belum paham perbedaan kewajiban subjek pajak dalam negeri dengan subjek pajak luar negeri. Di penjelasan diatas disebutkan perbedaan subjek pajak dalam negeri vs subjek pajak luar negeri. Walaupun bukan merupakan batang tubuh [tidak mengikat] tetapi penjelasan merupakan satu kesatuan. Maksud saya, penjelasan tidak mungkin bertentangan dengan batang tubuh UU.

salaam

Kategori:Subjek PPh

WPDN tapi tinggal di LN

17 Oktober 2008 1 komentar

Sebuah pertanyaan via email tentang PPh atas pembayaran deviden telah menyadarkan saya bahwa praktek di lapangan ada Wajib Pajak Dalam Negeri [WPDN] tapi tinggal di Luar Negeri [LN], misalnya Singapore. WPDN yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki NPWP. Kita perhatikan, siapa yang wajib memiliki NPWP menurut UU KUP berikut ini.

Pasal 2 ayat (1) UU KUP

Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Penjelasan ayat ini berbunyi :

Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

Dan persyaratan subjektif yang dimaksud [tentang WPDN] diatur di Pasal 2 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 [perubahan tahun 2008]

orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

Sedangkan kapan berakhirnya seseorang menjadi WPDN, diatur di Pasal 2A ayat (1) UU PPh 1984 [perubahan tahun 2008]

Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai pada saat orang pribadi tersebut lahir, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Memang di Pasal 2A ayat (1) UU PPh 1984 menyebutkan bahwa WPDN [atau lebih tepat subjek pajak dalam negeri] berakhir pada saat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Kata-kata “untuk selama-lamnya” saya pikir tidak bisa disamakan dengan “tidak akan kembali ke Indonesia”. Coba perhatikan memori penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU PPh 1984:

Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.

Ditambah lagi penjelasan Pasal 2A ayat (4) UU PPh 1984 :

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah subjek pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.

Bagi saya, dua penjelasan diatas mempertegas bahwa bagi orang pribadi yang sering “mondar-mandir” antara dalan negeri dan luar negeri maka status WPDN atau WPLN ditentukan oleh keberadaan dirinya di Indonesia atau di LN selama 183 hari dalam satu tahun. Contoh, jika pada tahun 2009 seseorang berada di Singapore selama 183 hari maka dia berstatus WPLN. Sedangkan pada tahun 2010 dia berada di Singapore kurang 183 hari [misalkan cuma 180 hari saja] dan sisanya berada di Indonesia maka dia statusnya WPDN.

Kembali ke pertanyaan via email tadi. PT X pemegang sahamnya A dan B. Kebetulan A berdomisili di Singapore [misalkan tinggal lebih dari 183 hari]. Tetapi sebelumnya penduduk Jakarta sehingga dulunya memiliki NPWP. Sedangkan B masih di Jakarta. Dengan demikian, maka A sekarang statusnya WPLN dan B berstatus WPDN. Nah, pada waktu pembayaran deviden ke A, apakah dipotong PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26? Jawaban saya, dipotong PPh Pasal 26 karena statusnya sudah WPLN.

Walaupun di Pasal 2 ayat (1) UU KUP tidak disebutkan apakah kewajiban subjektif tersebut subjek pajak dalam negeri atau subjek pajak luar negeri tetapi pendapat saya hanya subjek pajak dalam negeri. Kenapa? Karena ada kewajiban mendaftarkan diri di KPP. Perhatikan kutipan berikut, “.. wajib mendaftarkan diri .. meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan …” Artinya, subjek pajak luar negeri memang tidak wajib memiliki NPWP.

Terus bagaimana dengan si A? Jika masih memiliki NPWP memang secara formal memiliki kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh OP. Menurut saya, selama NPWP belum dicabut, kewajiban perpajakan masih melekat. Dan mohon dicatat bahwa format SPT Tahunan kita hanya untuk WPDN dengan world wide income atau full liabilities. Bagaimana A yang berstatus WPLN tetapi harus melaporkan penghasilan seperti WPDN? Ini kontradiksi.

Salah satu prinsip yang dipakai di Indonesia adalah the substance over-form. Seharusnya peraturan materil juga mengalahkan peraturan formal. Si A secara substansi sebagai WPLN tetapi secara formal sebagai WPDN.

Kategori:Subjek PPh

Subjek Pajak

20 April 2007 63 komentar

Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.

Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia;
b. orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
c. orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
d. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
e. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Pengertian ‘badan’ adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapu n, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, erkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, embaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.

Setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak.

Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu:
a. dibentuk berdasarkan peraturan perundang -undangan yang berlaku; dan
b. dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD; dan
c. penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan
d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

Subjek Pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
b. orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
c. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
d. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
e. orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
f. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,yang yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Bentuk usaha tetap / BUT ( permanent establishment ) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh Subjek Pajak luar negeri untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
h. perikanan, peternakan, p ertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

UU Pajak Penghasilan menganut resident principle untuk Wajib Pajak dalam negeri dan source principle untuk Wajib Pajak luar negeri, yang terlihat dari perlakuan pajaknya, yakni sebagai berikut:

a. Wajib Pajak dalam negeri :
1). dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia;
2). berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum;
3). wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

b. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT :
pemenuhan kewajiban perpajaka nnya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri, namun terbatas pada penghasilan yang bersumber dari Indonesia.

c. Wajib Pajak luar negeri non -BUT :
1). dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
2). berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;
3). tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Kapan bermula dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif ?
1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri: (a) dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia; (b) berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
2. Wajib Pajak badan dalam negeri: (a) dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; (b) berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
3. Warisan yang belum terbagi: (a) dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut; (b) berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
4. Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui BUT: (a) dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT; (b) berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT.
5. Wajib Pajak Orang pribadi atau badan luar negeri non-BUT: (a) dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia; (b) berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

Posting lebih baru tentang subjek pajak silakan klik di
1. Siapa Subjek Pajak?
2. Subjek Pajak Dalam Negeri

Kategori:Subjek PPh