Arsip

Archive for April, 2010

SSB Palsu

11 April 2010 5 komentar

Apakah Anda baru saja beli tanah atau bangunan sekaligus tanah dibawahnya? Jika ya biasanya anda akan berhubungan dengan notaris untuk “balik nama”. Kepemilikan tanah tersebut tentu akan berubah dari atas nama penjual ke anda sebagai pembeli. Untuk melakukan balik nama itu jarang sekali orang mengurus sendiri ke BPN. Apalagi jika kita tidak mau tertipu dengan penjual tanah tersebut, misalnya tanah tersebut sebenarnya masih sengketa atau masih ada masalah hukum lain, maka akan lebih aman jika kita mengurus masalah balik nama tanah tersebut ke notaris.

Ya, notaris bisa mengklarifikasi kepemilikan tanah yang akan kita beli dan sekaligus balik nama. Umumnya orang yang sudah pergi ke notaris akan minta bersihnya saja. Artinya, berapa harga yang diminta oleh nataris supaya sertifikat tanah tersebut menjadi milik kita?
Untuk memperoleh hak tanah sebenarnya ada pajak atas perolehan tanah yang dinamakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB. Hak yang menjadi objek pajak disini adalah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, dan Hak Pengelolaan. Bukti bahwa kita memiliki hak tanah disebut Sertifikat Hak Milik [SHM].
Menurut Pasal 24 UU BPHTB, notaris hanya bisa menandatangani pemindahan akta pemindahan hak atas tanah pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB. Jika SSB belum dibayar, natoris tidak boleh tanda tangani akta pemindahan hak atas tanah. Inilah contoh SSB kosong yang harus diisi oleh Wajib Pajak.
Tetapi prakteknya, untuk mengisi dan menyetorkan SSB ini sering kali diserahkan ke notaris. Bahkan pihak notaris juga pada saat merinci “biaya notaris” diantaranya mencantumkan BPHTB. Sekali lagi, klien notaris sering kali terima beres.
Sebenarynya ada lagi pajak yang harus dibayar oleh pihak penjual, yaitu Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan atau kita sebut PPh Final saja karena memang bersifak final. Tetapi karena pihak penjual seringkali tidak perduli lagi, maka sering kali PPh Final dengan sangat terpaksa “dibayarin” oleh pihak pembeli dan semuanya pengurusannya diserahkan ke notaris. Lagi-lagi, klien notaris terima beres saja.
Karena ketidakperdulian pengguna jasa notaris, atau mungkin karena ketidaktahuan pengguna jasa notaris, setoran-setoran pajak tersebut tidak pernah dicek ke kantor pajak. Memang, uang pajak disetor ke bank persepsi tetapi adminitrasi perpajakan tetap ada di kantor pajak.
Karena itu, tidak jarang SSB dan SSP yang ada dinotaris dipalsukan oleh pihak lain. Pihak lain tersebut kemungkinan orang yang memang pekerjaannya membuat SSB dan SSP palsu. Mungkin saja pihak notaris hanya bermotif ekonomis. Artinya, mana yang bisa memberikan keuntungan, itulah yang dia pakai. Sebagai contoh : seharusnya BPHTB dibayar Rp.50.000.000,- tetapi ada orang [sebut sajah Mr. X] yang bisa “menurunkan” BPHTB menjadi Rp.10.000.000,- sajah. Karena dianggap lebih “murah” maka pegawai notaris meminta bantuan Mr. X untuk mengurus pembayaran BPHTB. Padahal Mr. X cuma memalsukan SSB!
Walaupun begitu, bisa jadi pihak notaris tetap men-charge BPHTB ke klien sebesar Rp.50.000.000,- Tuh kan lumayan masih ada sisa. Mungkin sajah pegawai notaris tersebut tidak tahu jika yang dilakukan olen Mr. X tersebut adalah perbuatan kriminal. Atau bisa juga sebaliknya, dia tahu tapi karena tidak bisa memalsukan sendiri, terpaksa meminta jasa Mr. X juga.
Bagaimana kita bisa tahu bahwa BPHTB yang Rp. 50.000.000,- tersebut disetorkan ke bank persepsi? Bagi saya sih mudah saja karena saya pegawai pajak yang memilik akses ke PortalDJP. Salah satu aplikasi yang ada di PortalDJP adalah konfirmasi NTPN. Dengan memasukkan nomor yang tercetak di SSB, kita bisa konfirmasi apakah memang sudah masuk atau belum atau justru pembayaran pajak lain dengan jumlah yang berbeda. Seharusnya di PortalDJP akan muncul pembayar SSB, bank persepsi penerima, tanggal, dan jenis pajak.
Bagaimana dengan anda yang bukan pegawai pajak? Saya sarankan anda mengirim copy SSB ke kantor pajak terdekat disertai dengan surat permintaan konfirmasi. Inti surat tersebut menanyakan apakah BPHTB yang kita bayar lewat notaris benar sudah masuk ke kas negara atau belum?
Hanya sajah berdasarkan UU No. 28 tahun 2009 bahwa BHPTB akan dipindahkan menjadi pajak daerah. Mulai Januari 2011 kewenangan BPHTB ada di Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota. Saya tidak tahu bagaimana mekanisme kontrol atas SSB palsu ini. Apakah para pemalsu BPHTB akan “merasa pesta”? Semoga tidak!
Kategori:BPHTB

Faktur Pajak Palsu

8 April 2010 3 komentar

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Begitulah definisi Faktur Pajak menurut UU PPN 1984. Di “dunia” pemeriksaan pajak, ada istilah Faktur Pajak yang tidak ditemukan di UU PPN 1984 yaitu : Faktur Pajak palsu, Faktur Pajak fiktif, atau Faktur Pajak bermasalah. Tetapi di Pasal 39A UU KUP disebutkan :

Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Karena itu, sekarang DJP sering menggunakan istilah Faktur Pajak bermasalah. Hal ini berkaitan dengan pengertian hukum. Disebut Faktur Pajak palsu, katanya harus ada yang asli. Disebut Faktur Pajak fiktif, padahal jelas-jelas ada (tidak fiktif). Jika disebut Faktur Pajak bermasalah maka sesuai maksud Pasal 39A diatas adalah Faktur Pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya. Tapi saya tetap menggunakan istilah awam, yaitu Faktur Pajak palsu.
Seharusnya Faktur Pajak diterbitkan oleh penjual sebagai bukti pemungutan PPN. Untuk membuktikan adanya penjualan tersebut tentu harus ada :
[a.] dokumen-dokumen yang menunjukkan penjualan;
[b.] barang atau jasa yang diserahkan;
[c.] uang untuk pembayaran barang atau jasa.
Sebenarnya banyak modus dalam Faktur Pajak bermasalah. Tetapi yang paling gampang adalah dengan “memalsukan” Faktur Pajak. Disebut memalsukan karena pembuat Faktur Pajak sebenarnya tidak menjual apa-apa kecuali Faktur Pajak itu sendiri. Misalnya satu lembar Faktur Pajak dijual 5%. Artinya, jika Faktur Pajak tersebut PPN-nya senilai Rp.500.000.000,- maka dia menjual selembar Faktur Pajak tersebut Rp.25.000.000,- Bayangkan jika total Faktur Pajak yang dia buat puluhan milyar rupiah!
Seperti hukum ekonomi, ada penawaran karena ada permintaan. Faktur Pajak palsu dibuat karena memang ada yang membutuhkan. Siapa mereka? Sebenarnya semua Wajib Pajak yang memiliki niat tidak baik membutuhkan Faktur Pajak palsu. Tetapi biar lebih gampang, kita persempit bahwa permintaan Faktur Pajak palsu itu adalah para pedagang impor selundupan!
Kenapa penyelundup membutuhkan Faktur Pajak palsu? Kemungkinannya :
[a.] mengurangi setoran PPN ke bank persepsi; atau
[b.] mengambil uang dari kas negara.
Supaya lebih jelas kita gunakan angka-angka contoh:
Mr. Raju adalah seorang pedagang kain Pasar Tanah Abang. Kain yang dia jual adalah kain impor dari India. Supaya harga beli murah, maka kain dia selundupkan. Artinya dia tidak membayar bea masuk, PPh Pasal 22 impor, dan PPN impor. Untuk PPh dan PPN saja Mr. Raju harus bayar 12,5% jika menggunakan jalur resmi, yaitu 2,5% untuk PPh Pasal 22 Impor ditambah 10% untuk PPN Impor. Artinya, dengan menyelundupkan kain, Mr. Raju menghemat pembelian 12,5%!
Walaupun kain yang dia jual merupakan kain selundupan, tetapi Mr. Raju menjual kain secara terbuka. Sama dengan pedagang lain. Hanya saja ada konsekuensinya, yaitu dia harus memungut PPN atas setiap kain yang dia jual sebesar 10%. Setiap bulan dia wajib membuat dan melaporkan SPT Masa PPN. Misalkan penjualan satu bulan sebesar Rp.770.000.000,- maka PPN yang dia pungut dari pembeli sebesar Rp.70.000.000,- PPN ini disebut Pajak Keluaran atau PK.
Karena pada saat membeli kain Mr. Raju tidak membayar PPN, maka Pajak Masukan atau PM-nya nihil. Dengan kata lain, Mr. Raju belum pernah bayar PPN. Dengan kondisi seperti itu, maka Mr. Raju harus setor ke bank persepsi sebesar Rp.70.000.000,-
Untuk memperkecil PPN yang harus dibayar ke bank persepsi tersebut, Mr. Raju kemudian membeli Faktur Pajak palsu. Katakanlah senilai Rp.60.000.000,- tetapi dia cukup bayar ke pembuat Faktur Pajak palsu sebesar Rp.3.000.000,- sajah. Faktur Pajak palsu ini disebut Pajak Masukan. Di SPT Masa PPN kemudian diperhitungkan atau dikreditkan. Dengan Faktur Pajak palsu tersebut, Mr. Raju cukup bayar ke bank persepsi sebesar :
Rp.70.000.000,- dikurangi Rp.60.000.000,- = Rp.10.000.000,- sajah!
Total jenderal, dia menghemat Rp.57.000.000,- yaitu yang seharusnya bayar Rp.70 juta tapi dia cukup bayar ke pembuat Faktur Pajak palsu Rp. 3 juta ditambah bayar ke bank persepsi Rp. 10 juta.
Kata “menghemat” sengaja saya kasih warna merah karena karena sebenarnya Mr. Raju bukan menghemat tapi mengambil pajak yang merupakan hak negara! Memang jika dilihat dari segi dagang, cost-nya jadi lebih kecil. Tetapi yang sebenarnya adalah dia mengambil PPN dari pembeli (atau seharusnya mengambil) tetapi PPN tersebut tidak disetor ke bank persepsi.
Prakteknya, Faktur Pajak palsu banyak variasi dan lika-likunya baik dari segi modus maupun jumlah nominal PPN. Karena itu tidak semua Faktur Pajak bermasalah bisa dideteksi oleh pemeriksa pajak. Tidak semua SPT Masa PPN diperiksa. Bahkan untuk SPT seperti contoh diatas, SPT kurang bayar namanya, menjadi prioritas terakhir untuk diperiksa. Sehingga kemungkinan besar tidak diperiksa.
Bahkan bisa jadi Mr. Raju tergoda untuk melakukan restitusi PPN. Jika total Faktur Pajak palsu yang dia beli nominalnya lebih besar dari Pajak Keluaran maka Mr. Raju bisa meminta restitusi. Memang setiap permintaan restitusi akan dilakukan pemeriksaan. Ini prioritas utama bagi pemeriksa pajak. Walaupun begitu sangat mungkin banyak Faktur Pajak bermasalah seperti diatas lolos dari pemeriksaan pajak.
DJP memang tidak tinggal diam. Sudah banyak yang disidik dan dihukum dengan vonis penjara oleh pengadilan. Tetapi biasanya penjahat selalu berusaha lebih maju dalam perbuatan jahatnya.
Jadi …….. siapa yang nakal????

Pemungut Pajak

Apakah setiap Wajib Pajak membayar pajak langsung disetor ke bank persepsi? Tidak! Administrasi perpajakan, khususnya pajak pusat seperti Pajak Penghasilan [PPh] dan Pajak Pertambahan Nilai [PPN] “mendelegasikan kewenangan” kepada Wajib Pajak tertentu untuk mengambil pajak Wajib Pajak lain. Kata “mendelegasikan kewenangan” sengaja diberi tanda kutip untuk menekankan bahwa ada kewajiban yang dibebankan oleh undang-undang perpajakan untuk memungut pajak.

Sebenarnya ada dua istilah di PPh yaitu pemotong dan pemungut. Istilah pemotongan digunakan untuk PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Sedangkan pemungutan digunakan untuk PPh Pasal 22. Selain itu pemungutan juga digunakan oleh PPN.
Apa sih perbedaan pemungutan dan pemotongan? Sebagian orang yang bilang bahwa pemotongan itu pajak yang diambil dari penghasilan neto. PPh Pasal 21 contohnya, tarif PPh yang digunakan dari penghasilan bersih. PPh Pasal 23 ada yang cocok dengan pengertian ini ada yang tidak. Begitu juga dengan PPh Pasal 26, taxbase-nya ada yang jumlah bruto tapi ada yang dari perkiraan penghasilan neto.
Sedangkan pemungutan sebagian orang bilang bahwa pemungut mengambil pajak dari penghasilan bruto. Selain itu, pemungutan mengambil pajak dari pada saat pembelian. Pembelian tentu belum tentu menghasilkan penghasilan. Ada kalanya barang dagangan tidak laku dan jadi biaya. Pengertian ini tepat untuk PPh Pasal 22 dan PPN.
Walaupun begitu, saya tidak pernah mempermasalahkan pemungutan atau pemotongan. Keduanya sama-sama mengambil pajak orang lain. Majikan mengambil pajak karyawan, klien mengambil pajak pemberi jasa, begitu juga penjual mengambil PPN pembeli. Bahkan dalam bahasa Inggris hanya dikenal satu istilah yaitu withholding tax.
Bukti bahwa kita telah dipotong pajak adalah Bukti Potong untuk PPh. Bukti bahwa kita telah dipungut adalah SSP untuk PPh Pasal 22 dan faktur pajak untuk PPN. Baik bukti potong maupun faktur pajak merupakan bukti bahwa kita telah membayar pajak. Karena itu bukti potong dan faktur pajak bisa dikreditkan.
Dikreditkan maksudnya memperhitungkan pajak yang telah dibayar. Contoh 1, pada akhir tahun perhitungan di SPT PPh OP kita menunjukkan bahwa PPh terutang kita Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah). Sebagai pengusaha jasa, setiap kali memperoleh penghasilan kita dipotong PPh Pasal 23 dan kita diberi Bukti Potong oleh klien. Pada akhir tahun Bukti Potong tersebut dikumpulkan dan dijumlahkan. Katakan pada akhir tahun terkumpul sejumlah Rp.900.000,- (sembilan ratus ribu rupiah). Maka kita pada akhir tahun hanya menyetor ke bank persepsi sebesar Rp.100.000,- sajah!
Contoh 2, setiap kali kita beli barang dagangan, kita telah dipungut PPN. Bukti pungut PPN adalah faktur pajak lembar 1. Faktur Pajak dibuat oleh penjual. Karena itu, saat kita menjual barang, kita juga menerbitkan Faktur Pajak. Sebagai penjual, kita menyimpan Faktur Pajak lembar 2. Untuk memudahkan contoh, kumpulan Faktur Pajak lembar 2 [faktur pajak yang kita bikin] disebut Pajak Keluaran atau PK. Sedangkan kumpulan Faktur Pajak lembar 1 disebut Pajak Masukan atau PM.
Setiap bulan atau masa pajak, pengusaha kemudian menghitung berapa PPN yang harus disetor ke bank persepsi. Caranya : PK dikurangi PM.
[] Jika PK lebih besar maka kita bayar kelebihan PK ke bank persepsi;
[] Jika PK = PM maka tidak ada yang harus dibayar ke bank persepsi;
[] Jika PK lebih kecil dari PM maka kelebihan PM bisa kita kompensasi dan pada akhir tahun bisa dimintakan restitusi.
Sekarang jelaskan pentingnya Bukti Potong dan Faktur Pajak?

Bank Persepsi

8 April 2010 1 komentar
Apakah selama ini anda mengira bahwa kantor pajak adalah tempat menerima setoran pajak? Jika jawaban anda ya, maka anda salah besar! Direktorat Jenderal Pajak [DJP] atau kantor pajak dibawahnya sebenarnya merupakan kantor administrasi perpajakan pusat. Kita bedakan pajak pusat versus pajak daerah karena memang ada pajak daerah. Pajak pusat untuk mengisi Pendapatan di APBN. Sedangkan pajak daerah untuk mengisi Pendapatan APBD. Walaupun sebagian APBD ada juga yang berasal dari APBN.
Tempat setoran pajak sebenarnya bank atau pos persepsi. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara. Pos Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara. Pemberian nama “persepsi” menunjukkan bahwa tidak semua kantor bank menerima setoran pajak. Begitu juga dengan kantor pos, tidak semua kantor pos menerima setoran pajak. Tapi saya kira, sebagian besar kantor bank saat ini bisa menerima setoran pajak.
Media setoran pajak di bank persepsi dan pos persepsi adalah Surat Setoran Pajak [SSP]. Beginilah format SSP menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 38/PJ/2009 :
Setelah kita isi, biasanya SSP diisi dikantor masing-masing Wajib Pajak, SSP diserahkan ke teller bank. Kemudian komputer bank persepsi akan online dengan komputer Kementrian Keuangan melalui aplikasi yang disebut Modul Penerimaan Negara [MPN]. Jika terhubung maka MPN akan memberikan Nomor Transaksi Penerimaan Negara [NTPN]. Selain itu, komputer bank persepsi juga akan memberikan Nomor Transaksi Bank [NTB]. Baik NTPN maupun NTB akan tercetak di SSP, khususnya bagian validasi.
Instansi pemerintah yang terlibat dalam penerimaan negara ada dua, yaitu DJP sebagai administrasi perpajakan dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan [DJPb]. Semua SSP kemudian direkonsiliasi antara DJP dan DJPb. Jika sudah tercatat di DJPb maka setoran pajak tersebut kemudian disebut penerimaan negara. Data penerimaan negara inilah yang sering diumumkan kepada publik setiap akhir tahun apakah target pajak tercapai atau tidak. Jadi tidak mungkin DJP mengumumkan adanya penerimaan sekian trilyun rupiah jika belum ada rekonsiliasi dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Kategori:Cicilan Pajak, opini

pengusaha kecil

8 April 2010 2 komentar

Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 tentang batasan Pengusaha Kecil untuk keperluan Pajak Pertambahan Nilai [PPN]. Batasan pengusaha kecil dalam perpajakan ada dua: pertama untuk keperluan Pajak Pertambahan Nilai [PPh], yaitu dalam rangka boleh tidaknya Wajib Pajak menggunakan norma penghitungan pajak atau wajib menggunakan pembukuan. Sedangkan yang kedua untuk keperluan PPN yaitu apakah Wajib Pajak wajib memungut PPN atau tidak.

Nah, untuk keperluan PPN, batasan Pengusaha Kecil adalah omset setahun sebesar Rp.600.000.000,- (enam ratus juta). Jika dalam suatu bulan dalam tahun kalender, seorang Wajib Pajak telah memiliki omset Rp.600.000.000,- maka Wajib Pajak tersebut:
[a.] wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak [PKP]
[b.] wajib memungut PPN dari konsumen
[c.] wajib melaporkan SPT Masa PPN setiap masa pajak.

Peraturan ini sebenarnya nyaris sama dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 552/KMK.04/2000 tentang batasan Pengusaha Kecil PPN. Saya perhatikan, perbedaan hanya pada redaksi.

Sedangkan batasan Pengusaha Kecil untuk keperluan PPh yang boleh menggunakan norma penghitungan penghasilan menurut Pasal 14 ayat (2) UU PPh 1984 [amandemen 2008] adalah sebesar Rp.4.800.000.000,- (empat milyar delapan ratus juta rupiah).

Ada lagi batasan menggunakan norma pengkreditan pajak masukan. Norma ini tentu untuk keperluan PPN, yaitu menghitung berapa yang harus dibayar ke bank persepsi setiap bulannya. Batasan omset untuk menggunakan norma pengkreditan menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 45/PMK.03/2008 adalah sebesar Rp. 1.800.000.000,- (satu milyar delapan ratus juta rupiah).

Nah …. lumayan “lieur” kan?

Kategori:Uncategorized

SPT Masuk

Pada tahun ini adalah tahun pertama SPT Tahunan tidak dikirim ke Wajib Pajak tetapi Wajib Pajak wajib meminta sendir formulir SPT ke kantor pajak atau mencetak sendiri sesuai format yang telah ditetapkan oleh DJP. Pada awal tahun, banyak yang pesimis dengan tingkat kepatuhan penyampaian SPT Tahunan. Waktu itu, sebagian pegawai pajak berpendapat, “Dikasih sajah tidak melapor, apalagi disuruh ngambil!”

Memang pada awal tahun, biasanya kantor pajak sibuk mempersiapkan sampul yang akan dikirim ke alamat Wajib Pajak. Sampul tersebut berisi SPT Tahunan, buku petunjuk pengisian, dan formulir SSP. Tidak lupa sambutan Dirjen Pajak. Mulai tahun 2010 ini, semua formulir tersebut harus diambil atau diusahakan sendiri oleh Wajib Pajak. DJP hanya menyiapkan formulir yang dimaksud dan Wajib Pajak bebas mengambil darimana saja.

Jika dilihat dari segi jumlah SPT yang masuk, tingkat kepatuhan Wajib Pajak pada tahun ini meningkat. SPT yang masuk per 31 Maret 2010 menurut Pak Dirjen sebanyak 5.910.629 SPT. Ini masih angka sementara masih ada yang dalam tahap pengumpulan dan penghitungan. Jumlah SPT yang masuk tersebut meningkat 29,75% dibandingkan periode yang sama pada 31 Maret tahun 2009 lalu yang mencapai 4.555.274 SPT.

Mudah-mudahan peningkatan penerimaan SPT Tahunan PPh OP juga diiringi dengan kenaikan penerimaan PPh-nya. Kita tunggu berapa realisasi penerimaan per 31 Maret 2010 dan apakah penerimaan per Maret 2010 meningkat atau turun dibanding penerimaan per Maret 2009?

Target penerimaan pajak untuk tahun 2010 ini sebesar 742 trilyun rupiah atau sekitar 61 trilyun rupiah per bulan!

Kategori:SPT

Restitusi PPN Turis

1 April 2010 2 komentar

Inilah ciri khas Pajak Pertambahan Nilai [PPN]! PPN adalah pajak atas barang atau jasa yang dikonsumsi di Indonesia. Walaupun ada pengecualian “sedikit” barang dan jasa, semua barang adalah objek PPN. PPN tidak melihat atau memperdulikan siapa dan sumber penghasilan sebagaimana dalam Pajak Penghasilan [PPh].

Seorang turis asing, sebut saja Mr Ming, melakukan perjalanan wisata di Indonesia. Jika dilihat dari “kacamata PPh”, Mr Ming adalah subjek pajak luar negeri dan tidak memiliki penghasilan dari Indonesia. Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk memungut pajak dari Mr Ming. Tapi tidak berlaku bagi PPN!

Saat melakukan perjalanan wisata di Indonesia, tentu Mr Ming belanja. Nah, pada saat belanja tersebut sebenarnya Mr Ming telah membayar pajak [PPN] karena barang yang dia beli sudah melekat PPN di dalamnya. PPN tersebut dipungut oleh penjual dan disetorkan ke bank persepsi atau kantor pos oleh penjual.

Artinya Indonesia tetap bisa memungut PPN dari orang asing. Tetapi, orang asing bisa meminta kembali PPN tersebut jika barang yang dibeli tidak dikonsumsi di Indonesia tapi dikonsumsi di Luar Negeri. Atas pajak yang telah dia bayar, bisa dimintakan restitusi.

Dasar hukum restitusi barang bawaan turis asing ada di Pasal 16 E UU PPh 1984 amandemen 2009 yang berbunyi :

(1) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri dapat diminta kembali.

(2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah;
b. pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu)bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
c. Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal13 ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.

(3) Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(4) Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah:
a. paspor;
b. pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke luar Daerah Pabean; dan
c. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.

Menurut kabar dari Kontan Online, mulai 1 April 2010 terdapat delapan toko yang dapat melakukan restitusi PPN, yaitu :
1. Pasaraya cabang Blok M Jakarta
2. Sarinah cabang Thamrin Jakarta
3. Metro cabang Pondok Indah Jakarta.
4. Metro cabang Plaza Senayan
5. Keris Galery cabang terminal 2D Bandara Soekarno Hatta
6. Batik Keris Discovery Shopping Mall Bali
7. UC Silver Batubulan Gianyar Bali
8. Mayang Bali cabang Kuta Square Bali

Ini tentu baru proses pengujian. Akan ada toko lain yang ikut dalam program restitusi PPN bagi turis. Tanda suatu toko masuk dalam program restitusi PPn adalah logo bertuliskan VAT REFUND FOR TOURIST.

Kategori:Restitusi

faktur pajak = SSP

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak [BKP] atau penyerahan Jasa Kena Pajak [JKP]. Faktur Pajak dibuat pada saat [waktu pembuatan faktur pajak] :

a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;

b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;

c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau

d. saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Faktur Pajak dibuat oleh penjual atau pemberi jasa. Dibuat minimal dalam rangkap dua yang peruntukkannya masing-masing :
Lembar ke-1, disampaikan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
Lembar ke-2, untuk arsip Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak.
Lembar ke-1 yang diterima pembeli atau penerima jasa disebut pajak masukan atau sering disingkat PM. Sedangkan lembar ke-2 yang merupakan arsip penjual disebut Pajak Keluaran atau sering disingkat PK.
PM adalah bukti setoran pajak. Faktur Pajak lembar ke-1 akan dikreditkan di SPT Masa PPN pembeli atau penerima jasa. Dikreditkan maksudnya diperhitungkan sebagai pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
PK adalah bukti pungutan pajak. Faktur Pajak lembar ke-2 akan dilaporkan di SPT Masa PPN penjual atau pemberi jasa. Jika penjual atau pemberi jasa tidak melaporkan Faktur Pajak maka pembeli tidak bisa mengkreditkan PM. Pada waktu pemeriksaan, pemeriksa pajak akan melakukan konfirmasi atau cross check atau membandingkan antara SPT Masa PPN penjual versus SPT Masa PPN pembeli. Jika tidak cocok, maka PM akan dikreditkan sedangkan pihak penjual akan ditagih atau dilakukan himbauan untuk melakukan pembetulan SPT Masa PPN.
Karena begitu berharganya Faktur Pajak, pembuatan dan penggantian Faktur Pajak diatur lebih rinci. Hal ini karena dengan Faktur Pajak, seorang Wajib Pajak bisa meminta kelebihan uang pajak atau restitusi PPN.
Kategori:Faktur Pajak