Arsip

Archive for the ‘pembukuan’ Category

Pembukuan Bahasa Inggris

15 Maret 2010 2 komentar

Banyak pembukuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, secara "tidak sadar" menggunakan bahasa Inggris. Padahal ketentuan Pasal 28 ayat (4) UU KUP mewajibkan para Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan angka arab, huruf latin, mata uang rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia. Bahasa Inggris yang saya maksud adalah nama-nama perkiraan atau akun [account] yang menggunakan bahasa Inggris. Dulu waktu saya di Karikpa Jakarta Enam, kepala kantor meminta ke pemeriksa untuk memeriksa ijin penggunaan bahasa asing tersebut. Bukankah akun berbahasa Inggris artinya juga pembukuan tersebut berbahasa asing?
 
Padahal tidak semua Wajib Pajak dapat menggunakan bahasa asing dalam pembukuannya. Hanya Wajib Pajak tertentu yang boleh menggunakan bahasa asing. Itupun harus dengan ijin Menteri Keuangan. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-11/PJ/2010 bahwa "Wajib Pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat adalah:
a. Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan Penanaman Modal Asing;
b. Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan selain pertambangan minyak dan gas bumi;
c. Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan minyak dan gas bumi;
d. Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan atau sebagaimana diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) terkait;
e. Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri;
f. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan reksadana dalam denominasi satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasar modal;atau
g. Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company) di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan."
 
Nah, untuk mendapatkan ijin pembukuan dengan menggunakan bahasa asing, Wajib Pajak wajib membuat permohonan [seperti contoh diatas] 3 bulan sebelum menyelenggarakan pembukuan. Surat Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan lampiran :
a. fotokopi akta pendirian perusahaan dan perubahannya atau dokumen lain yang serupa bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap;
b. fotokopi Surat Persetujuan Penanaman Modal Asing dari Badan Koordinasi Penanaman Modal bagi Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing;
c. fotokopi surat keterangan/penunjukan kantor perwakilan Indonesia dari kantor pusat bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap;
d. surat keterangan dari bursa efek luar negeri yang menyatakan bahwa emisi saham Wajib Pajak pemohon didaftarkan di bursa efek tersebut bagi Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri;
e. fotokopi Surat Pemberitahuan Efektifnya Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atas penerbitan reksadana oleh Kontrak Investasi Kolektif yang bersangkutan bagi Wajib Pajak Kontrak Investasi Kolektif;
f. fotokopi prospektus penawaran atas reksadana yang diterbitkan dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat bagi Wajib Pajak Kontrak Investasi Kolektif;
g. surat keterangan/pernyataan dari perusahaan induk (parent company) di luar negeri dan laporan keuangan konsolidasi (consolidated financial statement)
perusahaan induk (parent company) di luar negeri bagi Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri;
h. fotokopi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang terakhir, kecuali bagi Wajib Pajak baru terdaftar yang belum wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan;
i. Surat Pernyataan (bermeterai Rp6000,00) bahwa transaksi penjualan dan biaya yang dilakukan perusahaan didominasi oleh satuan mata uang Dollar Amerika dan pembukuan menggunakan bahasa Inggris serta seluruh aktiva, pasiva, modal, pendapatan, dan biaya seluruhnya dicatat dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat; dan
j. fotokopi Bukti Penyetoran Modal Awal dalam Dollar Amerika Serikat bagi Wajib Pajak baru untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak pertama.
 
   
Mungkin perlu saran juga bagi para pembuat software akuntansi untuk tidak membuat akun-akun dalam bahasa Inggris. Atau pada saat pemasangan [install] dibuat dua pilihan, apakah pemakai akan menggunakan  bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Saya kira itu lebih baik 😀 
 



Kategori:pembukuan

Pencatatan

5 Februari 2009 5 komentar

Pada prinsipnya, kantor pajak dimanapun selalu menghendaki adanya pembukuan yang rapi sesuai dengan standar atau kelaziman usaha yang berlaku di negara tersebut bahkan di dunia. Tetapi ada pengecualian untuk wajib pajak tertentu yaitu wajib pajak orang pribadi :
[a.] Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan memilih untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; dan
[b.] Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.

Dasar dibolehkannya menggunakan pencatatan ada di Pasal 28 ayat (3) UU KUP amandemen 2007 yang berbunyi :

Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Pada bulan Januari 2009 kemarin Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 4/PJ/2009 tentang Petunjuk Pelaksana Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Berikut adalah catatan berkaitan dengan Peraturan Direktur Jenderal tersebut.

Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang bermaksud menyelenggarakan pencatatan harus memperhatikan ketentuan tentang batasan peredaran dan/atau penerimaan bruto bagi Wajib Pajak yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, wajib pajak orang pribadi yang yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah sesuai Pasal 14 ayat (2) UU PPh 1984 amandemen 2008.

Catatan harus meliputi semua penghasilan baik objek pajak PPh atau bukan objek PPh atau PPh final. Pokoknya semuanya deh. Kalau di Perdirjen bahasanya begini :
a. peredaran dan/atau penerimaan bruto yang diterima dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final;

b. penghasilan bruto yang diterima dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final, termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau

c. penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final, baik yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.

Penghasilan-penghasilan diatas harus disusun per jenis pekerjaan jika wajib pajak orang pribadi memiliki lebih dari satu pekerjaan bebas.

Berikut catatan yang saya rangkum dari Peraturan Menteri Keuangan No. 197/PMK.03/2007 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 4/PJ/2009 :
[1.] Pencatatan harus diselenggarakan secara teratur dan mencerminkan keadaan yang sebenarnya dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia;

[2.] Peredaran bruto adalah penghasilan bruto yang diterima secara tunai (cash basis).

[3.] Pencatatan dalam satu tahun harus diselenggarakan secara kronologis dalam satu tahun dari Januari sampai dengan Desember.

[4.] Pencatatan meliputi harta dan kewajiban yang dimiliki.

[5.] Catatan dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan harus disimpan di tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan selama 10 (sepuluh) tahun.

Hal yang terakhir berkaitan dengan Pasal 11 ayat (1) UU No. 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan :

Catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, bukti pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dan data pendukung administrasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak akhir tahun buku perusahaan yang bersangkutan.

Cag!

Kategori:pembukuan

Buku Kas

15 Desember 2007 6 komentar

Dari enzu : maaf ya Mas raden supratman, zu mau tanya klo kita mskan pajak ke buku kas apakah saldo akhirnya itu sdh termasuk pajak..?Mksh byk sblm dan sesdahnya.

Jawaban saya :
Betul, bahwa pajak yang kita masukkan ke buku kas berarti saldo akhir buku kas tersebut termasuk pajak sepanjang belum dikelaurkan, he .. he .. he … Sebenarnya, di buku kas mencatat uang masuk dan keluar. Tetapi tidak perlu ada pemisahan adanya uang pajak. Saldo kas berarti sejumlah uang yang kita pegang. Harus ada buku lain, seperti buku piutang, hutang, penghasilan, dan biaya.

Tetapi jika kita menggunakan norma, dan memakai pembukuan basis kas maka tidak perlu buku penghasilan dan biaya. Semua uang masuk masuk dikurangi uang dari hutang maka dianggap total penghasilan. Uang pajak seperti potongan PPh Pasal 21 dan 23 termasuk hutang, yaitu hutang kepada Negara. Sepanjang belum dibayar ke Kas Negara (bank atau kantor Pos) maka tetap jadi hutang. Selain itu, uang masuk yang berasal dari setoran modal juga bukan penghasilan.

Kategori:opini, pembukuan

PEMBUKUAN DENGAN MENGGUNAKAN BAHASA dan MATA UANG ASING

saya mau tanya tentang syarat san tata cara pembukuan sengan mata uang asing,berdasar kep men keu terbaru,thank you” [shoutbox]

Ketika membaca permintaan diatas, sepintas saya heran. Pertama, karena penanya tahu ada keputusan menteri keuangan yang baru (tahun 2007, sebenarnya yang baru bukan keputusan tapi peraturan menteri keuangan) tentang tata cara pembukuan dengan mata uang asing. Artinya, dia punya peraturan menteri keuangan tersebut atau setidaknya pernah baca. Kedua, di PMK (peraturan menteri keuangan) tersebut sangat jelas dan detil tentang syarat-syarat untuk menggunakan pembukuan bahasa asing, terutama di Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 49/PMK.03/2007

Walaupun demikian, permintaan pembaca blog merupakan perhatian dari pembaca blog itu sendiri. Artinya, suatu saat akan kembali lagi nengok blog saya untuk mencari jawaban. Mudah-mudahan. Karena itu, saya berusaha untuk memenuhi permintaan tersebut.

BAHASA ASING
Ngomong-ngomong masalah bahasa asing, sebenarnya di pembukuan Wajib Pajak, saya sering menemukan istilah-istilah bahasa asing, maksudnya account names. Contohnya : Cash, Account Receivable, Fixed Asset, Current Liabilities, dan lain-lain. Dan nama-nama akun dalam bentuk bahasa asing tersebut sudah sangat-sangat biasa digunakan oleh mahasiswa jurusan akuntansi (setidaknya yang aku alami di STAN). Kemudian, ketika terjun di dunia nyata dan mendesain sebuah sistem akuntansi, nama-nama akun dalam Bahasa Asing tersebut digunakan. Dan beberapa temen alumni STAN juga begitu.

Permasalahannya ada di Pasal 28 ayat (4) UU KUP, “Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.” Di undang-undang perpajakan kita jelas-jelas disebutkan bahwa pembukuan wajib menggunakan bahas Indonesia. Termasuk nama-nama perkiraannya!

Boleh menggunakan bahasa Inggris, tetapi harus ada izin dari Menteri Keuangan. Sedangkan berdasarkan peraturan menteri keuangan, tidak semua Wajib Pajak dapat menggunakan pembukuan dalam bahasa asing. Mereka yang dapat menggunakan pembukuan dalam bahasa Inggris adalah :
[a.] Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai Penanaman Modal Asing;
[b.] Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai pertambangan;
[c.] Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Bagi Hasil, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai pertambangan minyak dan gas bumi;
[d.] Bentuk Usaha Tetap, yaitu bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan atau menurut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang terkait;
[e.] Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk diluar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company) di luar negeri dalam hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan b Undang-Undang Pajak Penghasilan;
[f.] Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan Reksadana dalam denominasi mata uang Dollar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Jika selain dari perusahaan tersebut, sebaiknya jangan menggunakan istilah akun dalam bahasa asing. Pake bahasa Indonesia aja. Kalau pembukuannya sudah “otomatis” dengan menggunakan komputer, sebaiknya suruh programmer mengganti nama-nama akun ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa nasional! Mengapa?

Pembukuan dalam bahasa asing tanpa izin dari Menteri Keuangan berarti tidak memenuhi syarat pembukuan sebagaimana diwajibkan oleh UU KUP. Jika tidak memenuhi syarat, berarti dianggap tidak memiliki atau tidak menyelenggarakan pembukuan. Dan akibatnya bisa fatal!

Salah seorang kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta Enam (waktu itu boss-ku :)) beberapa kali “mengintruksikan” kepada pemeriksa untuk menanyakan Surat Izin penggunaan bahasa asing jika menemukan nama-nama akun dalam bahasa asing. Dia bilang, jika memang tidak memiliki izin, “TOLAK”! Ini beneran (cuma pemeriksanya yang sering kurang berani he .. he .. he ..).

MATA UANG ASING
Penggunaan mata uanga asing memang jarang (lebih sedikit) dibandingkan dengan bahasa asing. Kebanyakan yah, menggunakan nama akun bahasa Inggris tetapi menggunakan mata uang rupiah. Nasionalismenya sepotong-sepotong he .. he .. he …

Wajib Pajak yang boleh menggunakan mata uang asing, diwajibkan mengajukan izin tiga bulan setelah pendirian atau 3 bulan sebelum awal tahun buku. Kecuali untuk WP Kontrak Karya dan WP Kontrak Bagi Hasil, cukup pemberitahuan saja sebelum awal tahun buku.

Permohonan untuk meminta izin wajib disampaikan tiga bulan sebelum awal tahun buku dan jika memenuhi syarat serta dokumen yang disampaikan lengkap, maka 25 hari setelah surat permohonan disampaikan, akan keluar Surat Izin. Kalo belum keluar juga, anggap aja disetujui [Pasal 2 ayat (5) PMK 49 tahun 2007]. Ini adalah suatu kemajuan dibanding dengan aturan sebelumnya yang memberikan tempo 30 hari kepada DJP untuk menerbitkan Surat Izin.

Bagi WP yang beru berdiri, saya pikir tidak akan ada masalah konversi dari rupiah ke US dollar karena memang sejak awal akan dicatat dalam mata uang US dollar. Tetapi, bagi WP yang sebelumnya menggunakan rupiah, konversi dari rupiah ke US dollar akan menimbulkan permasalahan tersendiri. Bahkan mungkin saja akan menimbulkan berbagai tafsiran atau pendapat ketika terjadi pemeriksaan pajak.

Contohnya untuk WP KIK (Kontrak Investasi Kolektif). Sebelumnya WP yang boleh menggunakan pembukuan bahasa dan mata uang asing hanya lima kelompok, yaitu : PMA, Kontrak Karya, Kontrak Bagi Hasil, BUT, dan subsidiary company. Sejak 2007, WP KIK diperbolehkan. Dengan demikian, WP KIK yang sejak dahulu berkeinginan memakai mata uang dollar, sekarang sudah bisa.

KONVERSI RUPIAH ke US DOLLAR
Titik tolak, atau pertama kali angka-angka yang dikonversi adalah angka-angka yang ada di Neraca terakhir tahun buku sebelumnya. Diatas diterangkan jika Surat Izin harus disampaikan dalam kurun waktu tiga bulan sebelum awal tahun buku. Artinya, jika awal tahun buku bulan Januari 2008, maka surat permohonan wajib disampaikan selambat-lambatnya pada bulan Oktober 2007. Bulan sebelum awal tahun buku adalah : Oktober 2007, Nopember 2007, dan Desember 2007.

Awal tahun buku adalah Januari 2008. Neraca yang dikonversi dari rupiah ke US dollar adalah neraca per 31 Desember 2007. Angka-angka yang ada di Neraca per 31 Desember 2007 tersebut dikonversi ke US dollar dengan menggunakan kurs (Pasal 4 PMP No.49/PMK.03/2007) sebagai beriku:
[a.] untuk harga perolehan harta berwujud dan atau harta tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut;

[b.] untuk akumulasi penyusutan dan atau amortisasi harta sebagaimana dimaksud pada huruf a menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut;

[c.] untuk harta lainnya dan kewajiban menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas;

[d.] apabila terjadi revaluasi aktiva tetap, disamping menggunakan nilai historis, atas nilai selisih lebih dikonversi ke dalam mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat dilakukannya revaluasi;

[e.] untuk laba ditahan atau sisa kerugian dalam mata uang Rupiah dari tahun-tahun sebelumnya, dikonversi ke dalam mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas;

[f.] untuk modal saham dan ekuitas lainnya menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi;

[g.] dalam hal terdapat selisih laba atau rugi sebagai akibat konversi dari mata uang Rupiah ke mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada huruf a. huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, maka selisih laba atau rugi tersebut dibebankan pada rekening laba ditahan.

Jadi kurs yang dipakai ada dua, yaitu : pertama, kurs historis atau kurs yang berlaku pada saat terjadi transaksi atau saat perolehan. Akun yang menggunakan kurs ini adalah harta berwujud dan akumulasi penyusutannya, atau harta tidak berwujud dan amortisasinya; revaluasi aktiva tetap; dan modal saham. Kedua, kurs neraca terakhir dalam rupiah atau dalam contoh diatas adalah kurs pada tanggal 31 Desember 2007. Akun yang menggunakan kurs ini adalah harta lainnya (selain yang sudah disebutkan seperti Kas, Bank, Piutang, dan Persediaan); kewajiban; laba ditahan atau akumulasi / sisa rugi. Jika terjadi selisih laba atau rugi akibat konversi tersebut, maka dimasukkan ke akun laba ditahan.

SPT dan PAJAK
Kurs yang dipakai untuk konversi adalah kurs tengah BI. Ini tentu saja sesuai dengan kelaziman pembukuan atau standar akuntansi di Indonesia. Tetapi untuk masalah bayar pajak maka konversi wajib menggunakan kurs Keputusan Menteri Keuangan yang setiap minggu ditetapkan.

Kurs KMK ini berlaku untuk saat bayar pajak dengan rupiah. Pajak disini adalah semua jenis pajak seperti : pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB) bahkan bea masuk (BM) dan cukai. Kurs KMK tanggal yang dipakai adalah kurs KMK pada saat dibayar. Contoh : WP membuat bukti potong PPh Pasal 23 tanggal 5 Maret 2008 tetapi PPh tersebut baru dibayar pada tanggal 15 Maret 2008, maka kurs KMK yang dipakai adalah kurs KMK untuk tanggal 15 Maret 2008.

Tetapi dari sisi “yang dipotong” sering kali WP tidak tahu, kapan PPh yang dipotong tersebut disetor ke Kas Negara. Dan memang bukan kewajiban WP tersebut mengklarifikasi tanggal setor. Kewajiban ada difihak pemotong dengan segala akibatnya (karena itu jika belum dipotong akan dikenakan sanksi saat pemeriksaan). Untuk kasus diatas, kurs yang dipakai adalah kurs KMK yang berlaku pada tanggal bukti potong atau tanggal 5 Maret 2008.

Walaupun sudah mengantongi izin untuk menggunakan bahasa asing dan mata uang asing tetapi SPT wajib menggunakan bahasa Indonesia dengan mata uang rupiah, kecuali lampiran SPT berupa income statement. Akibatnya, dalam pembuatan SPT akan ada dua kurs yang dipakai, yaitu kurs tengah BI dan kurs KMK. Kurs tengah BI adalah kurs yang dipakai dalam income statement (setidaknya untuk sebagian akun biaya). Angka-angka dalam laporkan keuangan dengan mata uang US Dollar tinggal dipindahkan ke SPT. Plek sama.

Tetapi pada saat akan menghitung pajak terutang, tarif Pasal 17 UU PPh 1984 hanya bisa diterapkan untuk mata uang rupiah. Karena itu, penghasilan kena pajak sebagai dasar pengenaan PPh dikonversi ke rupiah dengan menggunakan kurs KMK. Teknisnya, di SPT $ ada dua kolom, yaitu kolom dengan mata uang US dollar dan kolom dengan mata uang rupiah. Selain SPT induk, semua masih menggunakan mata uang US dollar.

Cag!

Kategori:opini, pembukuan

PRINSIP ASIMETRIS

Pada permulaan krisis monoter, dunia perbankan sangat terguncang. Perbankan ibarat seseorang yang berdiri ditengah lautan yang sedang diterjang badai sunami. Masalah timbul dari delapan penjuru arah. Selain harus bersiap-siap yang uang tunai yang banyak untuk mengantisipasi penarikan uang nasabah besar-besaran (rush) juga yang paling memukul adalah jatuhnya nilai kurs rupiah terhadap valuta asing. Ditambah lagi sebagian besar debitur mengalami kesulitan likuditas. Akibatnya, banyak pinjaman bank yang macet. Tidak dibayar berbulan-bulan bahkan kemudian bertahun-tahun.

Bagi institusi bank, kredit macet adalah masalah besar karena usaha pokok perbankan adalah perkreditan. Jika hanya satu atau dua bank yang macet, mungkin dalam batas toleransi bank. Tetapi pada masa krisis, hanya sebagian kecil saja yang tidak macet. Semua orang bahkan sudah memaklumi kondisi ini karena krisis ini bukan hanya berlaku untuk satu atau dua bank tetapi semua bank di seluruh Indonesia bahkan regional Asia.

BASIS KAS
Kredit macet bagi perbankan bukan hanya masalah likuiditas tetapi juga masalah perpajakan. Setiap bulan, mungkin bank membukukan penghasilan bunga yang tidak diterimanya. Sampai dengan akhir tahun, penghasilan bunga bank mungkin saja besar tetapi penghasilan bunga tersebut hanya menjadi piutang yang belum tentu dibayar oleh bank. Bahkan sangat mungkin tidak pernah dibayar. Boro-boro bayar bunga, bisa kembali pokok pinjaman saja sudah bagus.

Karena menganut basis akrual, maka sudah menjadi kewajiban bank untuk mengakui adanya penghasilan bunga. Dari segi kelaziman akuntansi, memang begitulah seharusnya. Diatas kertas, tentu saja penghasilan bunga tersebut membuat laporan keuangan terlihat manis. Dari laporan keuangan terlihat, penghasilan besar tetapi sesungguhnya tidak punya duit. Semua penghasilan menumput di pos piutang yang belum tentu diterima.

Kondisi ini dari segi perpajakan tentu saja merugikan perbankan karena bank wajib membayar pajak yang besar atas penghasilan yang sangat mungkin tidak pernah diterima. Sedangkan sistem perpajakan tidak dapat mengakomodasi koreksi penghasilan tahun lalu. Bukankan pajak penghasilan yang sudah dibayar tahun lalu tidak dapat direstitusi tahun ini dengan alasan kesalahan membukukan penghasilan? Restitusi pajak penghasilan hanya dapat dilakukan pada tahun pajak yang bersangkutan dengan alasan kelebihan bayar. Pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya.

Untuk menghindari itu, satu-satunya cara adalah merubah metode pencatatan penghasilan bunga dari basis akrual ke basis kas. Penghasilan bunga harus diakui jika bank benar-benar menerima uang dari nasabah. Selama nasabah masih nunggak hutang bunganya, bank tidak akan membukukan penghasilan bunga. Dengan demikian, bank mengakui adanya penghasilan ketika penghasilan tersebut benar-benar diterima.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-273/PJ./1998 satu-satunya obat jitu bagi dunia perbankan saat itu. Menurut Kep Dirjen tersebut, bank baru membukukan penghasilan bunga dari kredit non-performing saat bank menerima bunga (nasabah melunasi kewajibannya). Penerapan penghasilan bunga basis kas ini tentu saja tidak berlaku untuk kredit yang lancar karena basis kas hanya dapat diterapkan pada kredit non-performing. Sedangkan yang dimaksud kredit non-performing adalah kredit yang digolongkan kurang lancar, diragukan dan macet.

PRINSIP ASIMETRIS
Kep Dirjen diatas hanya mengatur tentang pengakuan penghasilan bunga bagi perbankan, pemberi penjaman. Bagaimana dengan nasabah bank yang kebetulan kreditnya non-performing? Sebagian berpendapat bahwa nasabah bank tidak dapat menggunakan basis kas karena Kep Dirjen tersebut hanya diperuntukkan bagi perbankan. Sedangkan nasabah bank atau non perbankan tidak ada aturan pengecualian untuk menggunakan basis kas. Jadi tetap harus menggunakan basis akrual.

Sepintas pendapat tersebut kelihatan benar. Tetapi teori perpajakan memberitahukan bahwa perpajakan menganut prinsip asimetris. Prinsip ini tentu saja berlaku sejak dahulu kala sampai sekarang. Tidak terbatas hanya waktu krisis atau saat tertentu saja.

Mungkin dalam bahasa sehari-hari prinsip asimetris ini maksudna berlawanan. Pengakuan penghasilan bagi Wajib Pajak penerima dan pengakuan biaya bagi Wajib Pajak pembayar. Contohnya seperti Pasal 21 UU PPh. Pasal 21 UU PPh menganut prinsip asimetris. Jika majikan mengakui sebagai biaya, maka buruh harus mengakui penghasilan. Semua pemberian yang diakui penghasilan karyawan dan dihitung sebagai objek PPh Pasal 21 dapat diakui sebagai pengurang penghasilan (biaya) bagi majikan.

Contoh klasik lain pada Pasal 23 tentang bunga. Wajib Pajak “A” yang memberikan pinjaman kepada Wajib Pajak “B” untuk keperluan modal kerja atau investasi lainnya. Karena Wajib Pajak “A” dan Wajib Pajak “B” memiliki hubungan istimewa, misalnya pemiliknya sama atau satu grup, maka pinjaman seperti itu biasanya tanpa bunga. Tetapi dalam bisnis yang wajar, tidak ada pinjaman tanpa bunga. Jadi jika dikembalikan kepada kewajaran bisnis pada umumnya, transaksi seperti itu semestinya Wajib Pajak “B” wajib memberikan bunga kepada Wajib Pajak “A”. Karena itu, jika diperiksa oleh pemeriksa pajak, transaksi tersebut harus memperhitungkan bunga wajar di pasar atau bunga bank pada umumnya. Jika yang diperiksa Wajib Pajak “B” maka pemeriksa akan membuat koreksi negatif untuk biaya bunga, dan koreksi positif untuk objek PPh Pasal 23 atas biaya bunga. Sebaliknya, Wajib Pajak “A” wajib membukukan adanya penghasilan bunga dari Wajib Pajak “B”.

Jika prinsip asimetris diterapkan dalam kasus kredit non-performing, maka semua Wajib Pajak yang memiliki kredit non-performing dianggap tidak ada transaksi. Penerima bunga (bank) tidak mengakui adanya penghasilan bunga dan pembayar bunga (nasabah bank) tidak mengakui adanya biaya bunga. Keduanya menggunakan basis kas! Penghasilan bunga dan biaya bunga baru diakui dan dicatat jika nasabah bank benar-benar melunasi kewajibannya.

PERLAKUAN SETARA
Pemberlakuan basis kas seharusnya jangan dibaca hanya untuk Wajib Pajak dalam negeri saja. Seandainya Wajib Pajak dalam negeri menggunakan basis kas, maka Wajib Pajak luar negeri pun harus menggunakan basis kas atau diperlakukan seperti menggunakan basis kas. Wajib Pajak yang menunggak kredit dengan bank di Luar Negeri maka kredit tersebut statusnya kredit non-performing!

Karena berstatus kredit non-performing maka kewajiban bunga Wajib Pajak Dalam Negeri belum dicatat sebagai biaya bunga sampai Wajib Pajak Dalam Negeri tersebut benar-benar membayar kewajibannya kepada bank di Luar Negeri. Tentunya kita tidak dapat mewajibkan kepada bank di Luar Negeri harus menggunakan basis kas karena kita tidak memiliki juridiksi kepada bank di Luar Negeri. Masing-masing negara memiliki aturan masing-masing.

Mengapa kita harus memperlakukan basis kas untuk kasus ini? Sebenarnya kita tidak memperlakukan basis kas kepada Wajib Pajak Luar Negari tetapi kepada Wajib Pajak Dalam Negeri. Debitur di Indonesia harus mendapat perlakuan yang sama! Istilah versi orang London-nya equal treatment. Ada juga yang bilang equal treatment for equal. Debitur di Indonesia dalam keadaan yang sama, tidak memandang apakah krediturnya di Dalam Negeri atau di Luar Negeri. Karena dalam keadaan sama, maka harus diperlakukan sama, tidak memandang apakah bank pemberi pinjaman di Dalam Negeri atau bank dari Luar Negeri.

Penerapan prinsip ini mengakibatkan perlakuan basis kas untuk PPh Pasal 26 atas objek bunga yang diterima bank Luar Negeri! Jadi, PPh Pasal 26 atas bunga baru dapat terutang jika Wajib Pajak membayar bunga. Tentu saja bagi Wajib Pajak yang kreditnya lancar tidak dapat menerapkan basis kas.

KESIMPULAN
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-273/PJ./1998 tentang pemberlakuan basis kas bagi kredit non-performing harus menyeluruh berdasarkan prinsip asimetris dan perlakuan setara.

[catatan : tulisan ini telah dimuat di Artikel Perpajakan portal intranet DJP]

Kategori:opini, pembukuan

Pembukuan

Biasanya pembukuan itu dibuat oleh para usahawan. Pedagang emperan jalan pun sering kali membuat sebuah catatan tentang penjualan dan pembelian. Ciri khas pembukuan model ini adalah buku panjang yang lebarnya kurang dari sejengkal. Tentunya pembukuan tersebut sekedar catatan agar usaha mereka bisa dievaluasi. Atau sekedar supaya tahu berapa untung yang didapat dari usaha.

Nah, setahu saya, hanya undang-undang perpajakanlah yang mengatur kewajiban pembuatan pembukuan. Tentu saja kantor pajak akan sangat membutuhkan catatan-catatan usaha wajib pajak atau pembukuan wajib pajak untuk menguji kebenaran laporan wajib pajak.

Tujuan pembukuan:
[a]. mempermudah pengisian SPT;
[b]. mempermudah penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
[c]. mempermudah penghitungan PPN dan PPnBM;
[d]. mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas

Tuh kan, Buku Informasi Perpajakan juga mengakui jika tujuan pembukuan adalah untuk mempermudah pengisian SPT. Dan pada akhirnya tentu saja untuk menghitung besarnya pajak terutang. Jika memang rugi, maka kerugian yang diakui oleh wajib pajak dapat dibuktikan di pembukuan sehingga (karena rugi) tidak perlu bayar Pajak Penghasilan. Dan jika mendapatkan penghasilan maka wajib pajak wajib membayar Pajak Penghasilan. Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang juga harus dapat dibuktikan dengan pembukuan. Semua mengerucut pada pembukuan.

Tulisan dibawah ini saya “copa” dari Buku Informasi Perpajakan.

Syarat-syarat penyelenggaraan pembukuan/pencatatan:
[a]. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya;

[b]. Sekurang-kurangnya terdiri dari catatan yang dikerjakan secara teratur keadaan kas dan bank, daftar utang piutang, daftar persediaan barang, dan membuat neraca dan perhitungan laba rugi pada setiap akhir Tahun Pajak;

[c]. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan;

[d]. Pembukuan atau pencatatan dan dokumen yang menjadi dasarnya serta dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak harus disimpan selama sepuluh tahun.

[e]. Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan di Indonesia.
[e.1]. Wajib Pajak Orang Pribadi, di tempat kegiatan atau di tempat tinggal
[e.2]. Wajib Pajak Badan, di tempat kedudukan

Apa yang dimaksud dengan pembukuan ?
Pembukuan adalah proses pencatatan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi tentang:
[a] keadaan harta
[b] kewajiban atau utang
[c] modal
[d] Penghasilan dan biaya
[e] harga perolehan dan penyerahan barang/jasa yang terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang tidak terutang, yang dikenakan PPN dengan tarif 0% dan dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Yang ditutup dengan menyusun Laporan Keuangan berupa Neraca dan Perhitungan Laba rugi pada setiap akhir Tahun Pajak.

Apa yang dimaksud dengan pencatatan ?
Pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan atau penerimaan Penghasilan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang.

Siapa saja yang diperkenankan menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah?
Yang dapat melakukan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah:
[a]. Wajib Pajak Penanaman Modal Asing;
[b]. Wajib Pajak dalam rangka kontrak karya pertambangan;
[c]. Wajib Pajak dalam rangka kontrak bagi hasil;
[d]. Wajib Pajak yang berafiliasi dengan perusahaan induk di luar negeri;
[e]. Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah:
[a]. bahasa asing dan mata uang selain rupiah yang boleh dipergunakan adalah bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat;
[b]. mendapat izin Menteri Keuangan;
[c]. permohonan izin kepada Menteri Keuangan harus dilampiri dengan:

Wajib Pajak yang telah berdiri lebih dari 1 tahun :
– fotokopi SPT Tahunan PPh Badan tahun terakhir

Wajib Pajak yang baru berdiri dalam tahun berjalan:
– foto kopi NPWP
– foto kopi Akte Pendirian, atau dokumen lain yang serupa (bagi WP BUT)

Jika telah memenuhi syarat, Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan akan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Keuangan dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan diterima.

Kategori:pembukuan

Norma Penghitungan

28 April 2007 36 komentar

Tidak semua Wajib Pajak tentu memiliki kemampuan untuk membuat pembukuan. Justru pada umumnya, pengusahan kita mayoritas masih pada taraf usaha kecil. Mereka sangat mungkin tidak memiliki kemampuan membuat pembukuan. Selain itu, para profesional yang memiliki praktek profesi sendiri mungkin saja tidak memiliki pembukuan. Nah, bagi mereka yang tidak mau membuat pembukuan, Direktorat Jenderal Pajak telah membuat Norma Penghitungan.

Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal :

a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau

b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.

Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran. Aplikasinya, Norma Penghitungan itu merupakan persentase tertentu untuk mencari penghasilan neto. Wajib Pajak tidak perlu merinci berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk mencari penghasilan neto.

Formula umum untuk mencari penghasilan neto itu : penghasilan kotor – biaya = penghasilan neto.

Tetapi formula Norma Penghitungan untuk mencari penghasilan neto adalah :
penghasilan kotor x Norma = penghasilan neto.

Saya ingatkan kembali, untuk mencari PPh terutang untuk WP OP, penghasilan neto masih dikurangi lagi dengan PTKP. Sehingga formula lengkap untuk mencari PPh terutang adalah :

((Penghasilan kotor x Norma) – PTKP) x Tarif = PPh Terutang

Pemilihan Norma Penghasilan bagi Wajib Pajak memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungannya adalah sederhana. Wajib Pajak tidak perlu membuat pembukuan yang lengkap. Wajib Pajak tidak perlu membuat laporan keuangan seperti Neraca (balance sheet), dan Laporan Laba Rugi (income statement). Wajib Pajak cukup membuat catatan penghasilan kotor!!!

Kerugiannya adalah tidak pernah rugi. Yah, bagi Wajib Pajak yang memilih menggunakan Norma Penghitungan maka usahanya tidak akan pernah rugi. Selalu untung! Pada kenyataannya, namanya usaha ada untung, ada rugi bukan?

Seperti dijelaskan diatas, Norma Penghitungan dibuat berdasarkan penelitian. Artinya, Norma Penghitungan dibuat dengan moderat atau pertengahan. Karena itu, pada prakteknya mungkin laba usaha kita bisa diatas atau dibawah Norma Penghitungan. Karena itu, jika laba usaha (persentase keuntungan) kita tinggi maka akan menguntungkan jika penghasilan neto menggunakan Norma Penghitungan. Jika sebaliknya, persentase keuntungan kita kecil, Wajib Pajak sebenarnya rugi menggunakan Norma Penghitungan.

Jadi, jelaslah jika Norma Penghitungan mengabaikan unsur keadilan. Memang tujuan Norma Penghitungan sekedar penyederhanaan penghitungan penghasilan bersih. Jika menginginkan keadilan, maka kita mesti repot-repot membuat pembukuan dan laporan keuangan.

Tidak semua Wajib Pajak dapat menggunakan Norma Penghitungan. Hanya Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang memiliki total penjualan (omset) setahun sampai dengan Rp.600 juta sajalah. Tetapi sejak Januari 2007 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 1/PMK.03/2007 batas penghasilan menjadi Rp1.800.000.000 (satu milyar delapan ratus juta rupiah). Jika total penjualan melebihi angka tersebut, atau WP badan, maka WAJIB menggunakan pembukuan dan menyusun laporan keuangan.

Selain itu, untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.