Arsip

Archive for the ‘BPHTB’ Category

Daerah Belum Siap Tangani PBB-BPHTB

Sekedang copy paste dari http://www.pajak.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=11376:

ANYER(SI)-Rencana pengalihan pajak bumi dan bangunan (PBB) dan biaya pengalihan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) di bawah kewenangan daerah terancam gagal. Dari 33 provinsi, baru 2 provinsi yang mengaku sudah siap.”Rencana Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk mengalihkan penerimaan pajak dari PBB dan BPHTB ke daerah sudah seharusnya direalisasikan, namun saya khawatir daerah belum siap,” kata Pengamat Perpajakan Darussalam ketika dihubungi kemarin. Selama ini, kata Darussalam, PBB dan BPHTB di seluruh Indone-sia dipungut oleh pemerintah pusat. Namun, pada 2011 pajak dipungut olehpemerintahdaerah(pemda)di-mana bangunan dan tanah tersebut herada.Tujuannya untuk pemerataan pembangunan agar pajak bisa dinikmati di daerah-daerah.

Pengalihan pemungutan PBB dan BPHTB menurut Darussalam memang bukan langkah yang mudah dan bisa direalisasikan dengan cepat. Sebab, kemampuan masing-masing daerah untuk mengelola keuangan berbeda. “Untuk mempersiapkan pengalihan, seharusnya sum ber daya manusia (SDM) di daerah sudah dipersiapkan, jangan sampai dialihkan tapi mereka tidak mampu menangani,” tegasnya.

Dalam sebuah diskusi dengan media di Anyer, Banten, terungkap bahwa pengalihan pemungutan PBB perdesaan dan perkotaan dan BPHTB dinilai tidak akan mengurangi penerimaan pajak pemerintah pusat. Pengalihan pemungutan terjadi karena berlakunya Undang-Undang Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan RetribusiD aerah (PDRD) yang berlaku sejak 1 Januari 2011.

“Pengalihan PBB dan BPHTB ke daerah tidak akan menganggu penerimaan pajak di pusat yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2010,” kata Kasubdit Bidang Penilaian II Ekstensifikasi dan Penilaian Ditjen Pajak Budi Hardjanto. Sumber : Harian Seputar Indonesia

Last Updated (Monday, 09 August 2010 01:30)

Jadi kapan dong siapnya?

Kategori:BPHTB, PBB

SSB Palsu

11 April 2010 5 komentar

Apakah Anda baru saja beli tanah atau bangunan sekaligus tanah dibawahnya? Jika ya biasanya anda akan berhubungan dengan notaris untuk “balik nama”. Kepemilikan tanah tersebut tentu akan berubah dari atas nama penjual ke anda sebagai pembeli. Untuk melakukan balik nama itu jarang sekali orang mengurus sendiri ke BPN. Apalagi jika kita tidak mau tertipu dengan penjual tanah tersebut, misalnya tanah tersebut sebenarnya masih sengketa atau masih ada masalah hukum lain, maka akan lebih aman jika kita mengurus masalah balik nama tanah tersebut ke notaris.

Ya, notaris bisa mengklarifikasi kepemilikan tanah yang akan kita beli dan sekaligus balik nama. Umumnya orang yang sudah pergi ke notaris akan minta bersihnya saja. Artinya, berapa harga yang diminta oleh nataris supaya sertifikat tanah tersebut menjadi milik kita?
Untuk memperoleh hak tanah sebenarnya ada pajak atas perolehan tanah yang dinamakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB. Hak yang menjadi objek pajak disini adalah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, dan Hak Pengelolaan. Bukti bahwa kita memiliki hak tanah disebut Sertifikat Hak Milik [SHM].
Menurut Pasal 24 UU BPHTB, notaris hanya bisa menandatangani pemindahan akta pemindahan hak atas tanah pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB. Jika SSB belum dibayar, natoris tidak boleh tanda tangani akta pemindahan hak atas tanah. Inilah contoh SSB kosong yang harus diisi oleh Wajib Pajak.
Tetapi prakteknya, untuk mengisi dan menyetorkan SSB ini sering kali diserahkan ke notaris. Bahkan pihak notaris juga pada saat merinci “biaya notaris” diantaranya mencantumkan BPHTB. Sekali lagi, klien notaris sering kali terima beres.
Sebenarynya ada lagi pajak yang harus dibayar oleh pihak penjual, yaitu Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan atau kita sebut PPh Final saja karena memang bersifak final. Tetapi karena pihak penjual seringkali tidak perduli lagi, maka sering kali PPh Final dengan sangat terpaksa “dibayarin” oleh pihak pembeli dan semuanya pengurusannya diserahkan ke notaris. Lagi-lagi, klien notaris terima beres saja.
Karena ketidakperdulian pengguna jasa notaris, atau mungkin karena ketidaktahuan pengguna jasa notaris, setoran-setoran pajak tersebut tidak pernah dicek ke kantor pajak. Memang, uang pajak disetor ke bank persepsi tetapi adminitrasi perpajakan tetap ada di kantor pajak.
Karena itu, tidak jarang SSB dan SSP yang ada dinotaris dipalsukan oleh pihak lain. Pihak lain tersebut kemungkinan orang yang memang pekerjaannya membuat SSB dan SSP palsu. Mungkin saja pihak notaris hanya bermotif ekonomis. Artinya, mana yang bisa memberikan keuntungan, itulah yang dia pakai. Sebagai contoh : seharusnya BPHTB dibayar Rp.50.000.000,- tetapi ada orang [sebut sajah Mr. X] yang bisa “menurunkan” BPHTB menjadi Rp.10.000.000,- sajah. Karena dianggap lebih “murah” maka pegawai notaris meminta bantuan Mr. X untuk mengurus pembayaran BPHTB. Padahal Mr. X cuma memalsukan SSB!
Walaupun begitu, bisa jadi pihak notaris tetap men-charge BPHTB ke klien sebesar Rp.50.000.000,- Tuh kan lumayan masih ada sisa. Mungkin sajah pegawai notaris tersebut tidak tahu jika yang dilakukan olen Mr. X tersebut adalah perbuatan kriminal. Atau bisa juga sebaliknya, dia tahu tapi karena tidak bisa memalsukan sendiri, terpaksa meminta jasa Mr. X juga.
Bagaimana kita bisa tahu bahwa BPHTB yang Rp. 50.000.000,- tersebut disetorkan ke bank persepsi? Bagi saya sih mudah saja karena saya pegawai pajak yang memilik akses ke PortalDJP. Salah satu aplikasi yang ada di PortalDJP adalah konfirmasi NTPN. Dengan memasukkan nomor yang tercetak di SSB, kita bisa konfirmasi apakah memang sudah masuk atau belum atau justru pembayaran pajak lain dengan jumlah yang berbeda. Seharusnya di PortalDJP akan muncul pembayar SSB, bank persepsi penerima, tanggal, dan jenis pajak.
Bagaimana dengan anda yang bukan pegawai pajak? Saya sarankan anda mengirim copy SSB ke kantor pajak terdekat disertai dengan surat permintaan konfirmasi. Inti surat tersebut menanyakan apakah BPHTB yang kita bayar lewat notaris benar sudah masuk ke kas negara atau belum?
Hanya sajah berdasarkan UU No. 28 tahun 2009 bahwa BHPTB akan dipindahkan menjadi pajak daerah. Mulai Januari 2011 kewenangan BPHTB ada di Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota. Saya tidak tahu bagaimana mekanisme kontrol atas SSB palsu ini. Apakah para pemalsu BPHTB akan “merasa pesta”? Semoga tidak!
Kategori:BPHTB

Membebaskan BPHTB Warisan

Pak Raden, saya aneh apa karena warisan diperoleh dengan cuma-cuma, maka wajar kena pajak? Kenapa penerapan UU ini memandang warisan itu hanya sebelah saja yaitu harta warisan, padahal ada juga warisan berupa hutang. Jadi kalau mau membahas warisan, pemerintah harusnya melihat keseluruhan harta dan hutang warisan. Jangan hanya hartanya saja.

Begitulah salah satu komentar yang masuk pada hari ini. Pertama saya mengira yang dimaksud pajak adalah PPh atau PPN. Padahal untuk masalah warisan sudah saya bahas di blog ini pada tanggal 7 September 2007. Kalau di cari dulu pasti ketemu. Kesimpulan pada posting itu adalah warisan bebas pajak.

Setelah saya teliti, ternyata komentar tersebut ada di posting BPHTB. Jadi yang dimaksud pajak disini adalah BPHTB. Saya kemudian mencari tahu alasan pengenaan BPHTB atas warisan ini. Memang alasan kenapa warisan dikenakan yang ada di Peraturan Pemerintah No. 111 Tahun 2000, yaitu di bagian penjelasan yang berbunyi :

Saat pewaris meninggal dunia, pada hakikatnya telah terjadi pemindahan hak dari pewaris kepada ahli waris. Saat terjadinya peristiwa hukum yang mengakibatkan pemindahan hak tersebut merupakan saat perolehan hak karena waris menjadi objek pajak.

Mengingat ahli waris memperoleh hak secara cuma-cuma, maka adalah wajar apabila perolehan hak karena waris tersebut termasuk objek pajak yang dikenakan pajak.

Sebagaimana kita ketahui bahwa BPHTB “semacam” Materai atas perolehan hak. BPHTB terutang saat ada proses alih nama Sertifikat Hak Milik [SHM] dari orang yang meninggal kepada ahli waris. Dan dibayar oleh ahli waris sebagai orang yang memperoleh hak. Jika warisan tersebut tidak dialihnamakan atau warisan tersebut tidak memiliki SHM dan ahli waris tidak berniat untuk mengalihnamakan warisan tersebut, sebenarnya warisan tersebut bebas pajak.

Ada dua tips supaya ahli waris bebas atau terhindar membayar BPHTB :
1. Untuk warisan yang sudah bersertifikat, yaitu warisan langsung dijual tanpa dialihnamakan ke ahli waris. Dengan demikian, alihnama secara formal dari orang yang meninggal ke pembeli. Ahli waris bebas bayar BPHTB.

2. Untuk warisan yang belum atau tidak bersertifikat, yaitu dengan tidak membuat sertifkat. Saya kira ini cocok di daerah pedesaan yang kurang memperhatikan formalitas bukti kepemilikan.

Walaupun demikian, sebenarnya BPHTB warisan sudah mendapat dua fasilitas :
Pertama : Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal waris (NPOPTKP) bisa sampai Rp 300.000.000,00. Ini adalah NPOPTKP tertinggi.

Kedua : diskon langsung 50% dari BPHTB terutang.

Kategori:BPHTB

Saat terutang PBB dan BPHTB

Komentar :

Saya butuh informasi, kapan seseorang yang membeli rumah di developer mulai bayar PBB? Masalahnya saya kredit in-house di developer tersebut, dan belum melakukan balik nama maupun serah terima, sedangkan pembayaran BPHTB dan lain-lain diberi kelonggaran sampai batas kurang lebih 1 tahun dari pelunasan. Memang tahun ini merupakan tahun terakhir saya mencicil, dan saya sudah mendapat tagihan untuk bayar PBB. Sebenarnya masih tanggung jawab developer atau pembeli?

Jawaban saya:
Saat terutang PBB adalah tanggal 1 Januari tahun yang bersangkutan. Untuk lebih jelas siapa yang wajib bayar PBB, saya berikan contoh dibawah ini.

Saya membeli rumah dan tanah di Bandung pada tanggal 15 Januari 2008. Karena pada tanggal 1 Januari 2008 rumah di Bandung tersebut masih milik orang lain atau pengembang maka subjek pajak [orang yang wajib bayar] yang tertera di SPPT PBB tahun 20008 adalah orang lain atau pengembang.

Subjek pajak akan berubah menjadi saya sejak SPPT PBB tahun 2009. Tetapi untuk hal itu, saya harus mengurus ke kantor pajak [KPP Pratama] dengan mengisi formulir yang bernama SPOP [surat pemberitahuan objek pajak]. Setelah diisi dengan jelas dan lengkap dan ditanda tangan, SPOP tersebut dikirim ke KPP terdaftar dimana lokasi objek berada. Nah, setelah itu tinggal tunggu tahun berikutnya [karena menunggu status per 1 Januari]. Selama tidak ada informasi perubahan data, tentu kantor pajak juga tidak mengetahui keadaan sebenarnya di lapangan. Tetapi jika kita beli dari pengembang, biasanya SPOP sudah diurus oleh pengembang.

Berkaitan dengan pertanyaan diatas, jika ada serah terima rumah dari pengembang ke pembeli, maka subjek pajak di SPPT PBB bisa berubah. Sekedar informasi tambahan : subjek pajak PBB tidak harus orang yang memiliki tapi bisa juga orang yang menguasai atau orang yang memanfaatkan objek PBB tersebut.

Sedangkan BPHTB adalah pajak atas perolehan tanah. Selama tanah belum “disertifikatkan” [kita mengurus sertifikat hak milik] maka belum timbul hutang BPHTB. Seperti jika kita beli tanah di kampung yang tidak memiliki sertifikat dan kita tidak berniat membuat sertifikat maka atas jual beli tersebut tidak akan terutang BPHTB.

Contoh : Saya beli tanah tahun 2003. Tetapi karena mau dijadikan jaminan di bank, pada tahun 2009 saya membuat sertifikat hak milik lewat notaris. Nah, pada saat mengurus ke notaris tersebut saya harus bayar BPHTB sesuai NJOP tahun 2009 [tahun saat perolehan hak milik] atau sesuai harga beli tahun 2003 [mana yang lebih tinggi].

Satu hal yang perlu saya ingatkan : sebaiknya bayar PBB dan bayar BPHTB dilakukan sendiri. Banyak kasus pembayaran BPHTB dipalsukan. Jangan dititip ke notaris atau pengembang. Jika dititipkan, pastikan memang dibayar ke bank! Subjek pajak BPHTB adalah pembeli tanah. Karena itu, kita lah yang paling berkepentingan dengan pembayaran BPHTB.

salam

Kategori:BPHTB, PBB

NPOPTKP Baru

Bulan Februari 2008 Menteri Keuangan telah menetapkan batas atas Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB yang baru. Penetapan tiap-tiap tempat ditentukan oleh Kantor Wilayah DJP setempat. Hal yang baru di Peraturan Menteri Keuangan No. 33/PMK.03/2008 adalah:
[1]. Untuk perolehan hak RSH ditetapkan Rp.49.000.000,00
[2]. Untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil ditetapkan Rp.10.000.000,00

Seperti biasa, Peraturan Menteri Keuangan mulai berlaku sejak 22 Februari 2008.

Salaam

Kategori:BPHTB

PowerPoint BPHTB

12 Maret 2008 4 komentar

Sesuai dengan namanya, file PowerPoint biasanya menampilkan poin-poin penting yang menjadi penekanan pembicara. Bahan-bahan dalam PowerPoint diharapkan akan membuat pembaca memahami apa yang disampaikan. Begitu juga dengan file BPHTB berikut ini.

File ini dibuat untuk Property Law Training yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2006. Disampaikan oleh Direktur PBB & BPHTB Ditjen Pajak pada waktu itu. Tidak diragukan lagi, file tentang BPHTB ini tentu sangat penting bagi para pencari ilmu perpajakan khususnya BPHTB.

File ini saya dapatkan dari Fordis intranet. Saya unggah apa adanya. Jika ada peraturan yang keluar setelah tanggal 9 Agustus 2006 tentu tidak akan terakomodasi oleh PowerPoint tersebut, diantaranya Peraturan Menteri Keuangan No. 91/PMK.03/2006 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB yang diterbitkan tanggal 13 Oktober 2006.

Ok. Bagi yang berminat mengoleksi, silakan unduh disini!

Salaam

Kategori:BPHTB

Tanah Bersertifikat vs Petok

8 Januari 2008 2 komentar

Pertanyaan:
Ada kejadian wp mengajukan kelebihan BPHTB, tanah tersebut merupakan tanah warisan, apakah ada perbedaan pengenaan NPOPTKP atas tanah warisan yang sudah bersrtifikat dan yang belum bersertifikat (petok)? Diatur dimana? Mohon bantuannya…terima kasih.

Jawaban:
Coba ibu lihat UU BPHTB Tahun 2000 Pasal 2 ayat (2) a. Pemindahan hak dan b. Perolehan hak. dan lihat juga Pasal 2 ayat (3) hak-hak yang menjadi objek BPHTB. Untuk warisan yg sudah bersertifikat masuk ke klausul pemindahan hak karena cecara hukum telah ada hak yang dapat diwariskan sehingga BPHTB = (nilai Pasar atau NJOP – Rp.300jt) x 5% x 50% dan untuk warisan yng belum bersertifikat masuk ke klausul perolehan hak karena secara hukum belum ada hak yang menjadi objek BPHTB yang akan diwariskan. Perhitungannya: (nilai pasar atau NJOP – Rp.60jt) x 5% untuk wilayah DKI Jakarta. mungkin ada pendapat lain ? [Tritiyo Nugroho]

NPOPTKP atas tanah warisan sudah bersertifikat adalah ditetapkan maksimal 300 jt. Apabila tanah belum bersertifikat diwariskan dan didaftarkan ke BPN untuk dimohon sertifikatnya, maka atas perbuatan hukum tersebut dikenakan BPHTB karena pemberian hak baru sepanjang permohonan tersebut disetujui dan diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Baru (SKPHB) atas nama ahli warisnya dan terutang BPHTBnya sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya SK pemberian hak dan NPOPTKP ditetapkan maksimal Rp.60jt. [Didik Santoso]

Catatan saya:
Pasal 2 UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan UU No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB

(1) Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
(2) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. Pemindahan hak karena :
1 . jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha;
13. hadiah.

b. Pemberian hak baru karena :
1. kelanjutan pelepasan hak;
2. diluar pelepasan hak.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun;
f. hak pengelolaan.

NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) diatur di Pasal 7 ayat (1) UU BPHTB,

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”

[sumber : Fordis BPHTB.net]

Kategori:BPHTB

Perubahan status HGB ke SHM

7 Januari 2008 7 komentar

Mr. A membeli tanah dan bangunan dengan status HGB [hak guna bangunan]. Pada saat pembelian status tanah langsung ditingkatkan menjadi SHM [sertifikat hak milik]. BPHTB nya dikenakan 1 kali atau 2 kali?

Jawaban: Pembelian tanah dan bagunan dikenakan BPHTB karena terjadi proses peralihan hak antara pembeli dan penjual.

Sedangkan peningkatan hak dari HGB ke SHM tidak dikenakan BPHTB karena konversi hak dengan tidak adanya perubahan nama.

Jadi contoh kasus tersebut, si A hanya dikenakan BPHTB sekali yakni saat tanggal dibuat dan ditandatanginya akta.

Demikian pak.. semoga dapat membantu.[Rimba Prasasti ]

[sumber: Fordis BPHTB.net]

Catatan saya : BPHTB terutang hanya pada saat pembuat akta jual beli.

Kategori:BPHTB

Hibah ayah ke anak di luar kawin

Pertanyaan: Wajib Pajak mengajukan pengurangan BPHTB karena mendapat hibah dari ayahnya. Penerima hibah adalah anak di luar kawin. Sehingga dalam Akta Kelahirannya tidak disebutkan nama ayahnya tetapi hanya disebutkan anak luar kawin dari ibunya. Apakah bisa diberikan pengurangan sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah? Dengan apa dibuktikan bahwa penerima hibah adalah anak kandung pemberi hibah? Apakan cukup dengan kartu keluarga saja?

Jawaban:
Biasanya anak diluar nikah dipakai oleh orang-orang non pribumi karena pernikahan mereka jaman dahulu tidak dapat dicatat di Kantor Catatan Sipil, sehingga pihak catatan sipil mengeluarkan akta kelahiran bagi orang non pribumi dikatakan anak diluar nikah. Yang pasti anak dilluar nikah adalah anak kandung, sehingga menurut saya karena di era sekarang tidak ada lagi ada diskriminasi. Karena itu, untuk kasus tersebut dapat diberikan pengurangan. [Tri Setiyo Nugroho]

[sumber: Fordis BPHTB.net]

Kategori:BPHTB

Pengenaan BPHTB atas Tanah dan Bangunan karena Hibah Wasiat

29 Desember 2007 12 komentar

Perolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh ahli waris dari pewaris, yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Saat pewaris meninggal dunia, pada hakikatnya telah terjadi pemindahan hak dari pewaris kepada ahli waris. Saat terjadinya peristiwa hukum yang mengakibatkan pemindahan hak tersebut merupakan saat perolehan hak karena waris menjadi objek pajak. Mengingat ahli waris memperoleh hak secara cuma-cuma, maka adalah wajar apabila perolehan hak karena waris tersebut termasuk objek pajak yang dikenakan pajak.

Perolehan hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia. Pada umumnya penerima hibah wasiat adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga dengan pemberi hibah wasiat, atau orang pribadi yang tidak mampu. Disamping orang pribadi, penerima hibah wasiat juga berupa badan yang biasanya mempunyai kegiatan pelayanan kepentingan umum di bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan, yang semata-mata tidak mencari keuntungan.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang.

Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris dan hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Contoh 1 [NJOPTKP lebih besar dari nilai pasar & NJOP]
Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 200.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 250.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal waris (NPOPTKP) sebesar Rp 300.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 250.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 300.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak N i h i l
BPHTB terutang N i h i l

Contoh 2 [Nilai pasar lebih besar dari NJOP & NJOPTKP]
Seorang anak memperoleh hibah wasiat dari ayah kandungnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 500.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai JuaI Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 450.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dalam hal hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, sebesar Rp 300.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 500.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 300.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 200.000.000,00
BPHTB yang seharusnya terutang = 5% x Rp 200.000.000,00
= Rp I0.000.000,00
BPHTB yang terutang = 50% x Rp 10.000.000,00 = Rp 5.000.000,00

Contoh 3
Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 500.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 800.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dalam hal waris sebesar Rp 300.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 800.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 300.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 500.000.000,00
BPHTB yang seharusnya terutang = 5% x Rp 500.000.000,00
= Rp 25.000.000,00
BPHTB terutang = 50% x Rp 25.000.000,00 = Rp 12.500.000,00

Contoh 4
Suatu Yayasan Panti Asuhan Anak Yatim Piatu memperoleh hibah wasiat dari seseorang sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 1.000.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak sebesar Rp 900.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal selain waris dan hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, sebesar Rp 60.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 1.000.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 940.000.000,00
BPHTB yang seharusnya terutang = 5% x Rp 940.000.000,00
= Rp 47.000.000,00
BPHTB yang terutang = 50% x Rp 47.000.000,00
= Rp 23.500.000,00

[Dikutip dari PP 111 Tahun 2000]

Catatan : Untuk mendapatkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) yang berlaku bisa ditanyakan ke KPP Pratama di Seksi Ekstensifikasi (pelayanan PBB hanya ada di KPP Pratama atau KPPBB jika belum ada KPP Pratama).

Kategori:BPHTB